Setelah itu, melalui saluran yang sudah ada, kotoran dimasukkan ke dalam reaktor yang berupa bejana atau tabung yang ditanam dalam tanah. Tabung tersebut hampa udara dan ada mikro organisme yang fungsinya mengubah gas metan menjadi energi. Dari bejana itu ada saluran pipa menuju dapur dan langsung disambungkan ke kompor masing-masing rumah. Sedang ampasnya (bio slurry) yang sudah tidak mengandung gas metan akan keluar dengan sendirinya di saluran yang berbeda. Sejak berdiri sampai sekarang, berarti kami sudah menyelamatkan ribuan kubik kotoran sapi yang berpotensi merusak lingkungan karena mengeluarkan gas metan.
Omong-omong, Anda tidak tinggal di Brau ya?
Ya, saya tinggal di Desa Ngaringan, Gandusari, Blitar (Jatim). Jaraknya sekitar 50 kilometer dari rumah. Minimal dua kali seminggu saya ke Brau naik motor. Kalau tidak ada kegiatan khusus atau sekadar mendampingi warga, biasanya saya berangkat pagi pulang sore. Tetapi, kalau ada acara yang mengharuskan saya menginap, ya terpaksa menginap.
Bagaimana ceritanya Anda sampai terjun dan aktif di Yabule?
Ceritanya, saya adalah tamatan Universitas Brawijaya. Saat menjadi mahasiswa, saya aktif di Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam (Impala) Universitas Brawijaya. Setelah tamat, menikah dan punya seorang anak, kami terbentur keadaan ekonomi sehingga saya kemudian terpaksa menjadi TKW ke Taiwan.
Sepulang dari Taiwan, saya hamil dan melahirkan anak kedua. Setelah itu kembali lagi ke Taiwan dan pulang lagi hamil anak ketiga. Lagi-lagi saya harus kembali lagi kerja di luar, tapi kali ini ke Hong Kong. Jadi, total saya menjadi TKW selama 13 tahun dan baru pulang pada tahun 2013 lalu.
Setelah di rumah, teman-teman di Impala meminta agar saya tak kembali ke Hong Kong dan lebih baik bergabung dengan Yabule. Setelah sepakat akhirnya saya menemukan Dusun Brau ini sebagai salah satu lokasi konservasi.
Tugas Anda cukup berat, harus mondar-mandir Blitar-Malang melewati medan yang cukup menantang, apakah ada materi yang didapat dari sini?
Di awal-awal dulu memang ada, tetapi kalau sekarang tidak ada. Saya sekarang benar-benar menjadi relawan. Tetapi jujur saja, meski saya tidak mendapatkan materi, saya sangat bahagia. Saya bisa berbagi pengetahuan dengan masyarakat tentang bagaimana cara menjaga lingkungan. Lagipula, masyarakat Brau begitu baik menerima saya, jadi kami secara batin sangat dekat. Kalau saya tidak datang karena sakit misalnya, bapak-bapak kampung sini berbondong-bondong naik motor menjenguk saya ke rumah saya di Blitar.
Demikian pula kalau tahu bahwa saya tidak pulang atau menginap di Brau, biasanya bapak-bapak langsung kumpul ramai-ramai di rumah Pak Taqwin, sambil ngobrol, ngopi dan membahas banyak hal. Di sanalah saya kemudian menggali apa saja yang menjadi keinginan mereka yang kira-kira bisa diwujudkan. Dan bagi saya momen seperti ini membahagiakan sekali.
Untuk kebutuhan keluarga bagaimana?
Saya punya usaha kecil-kecilan. Di halaman rumah saya yang cukup luas, saya beternak lele. Suami saya, Supardiono Eko Budoyo (56), yang menjalankannya.
Memang. Dan jujur saja, ada masa-masa di mana hati saya benar-benar terasa pedih saat harus meninggalkan anak-anak yang masih butuh pelukan ibu. Tapi bagaimana lagi, semua itu kan karena keadaan. Sekarang ini saya manfaatkan semaksimal mungkin untuk keluarga demi menebus masa-masa di mana saya pernah berpisah dengan mereka.
Sekarang ketiga anak sudah besar-besar ya?
Anak pertama saya, Rilly Putri Wantati (22), dulu sempat menjadi pramugari di sebuah maskapai tetapi sekarang alih profesi menjadi entertainer di Jakarta. Sedang anak kedua dan ketiga, Agung Rahmadya (19) dan Elvira Bekti Kirana (13), masih duduk di bangku SMA dan SMP.
Sampai kapan Anda akan mendampingi masyarakat di sini?
Saya tidak bisa menentukan sampai kapan, tetapi saya sudah telanjur cinta dengan daerah dan masyarakat sini.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR