Menyedihkan. Tubuh Hagar Haki (28) hanya tulang berbalut kulit dan terlihat sangat memprihatinkan. Perempuan asal Nailiu, Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu saat ini berada di ruang isolasi 1 wanita kelas III, Rumah Sakit Umum (RSU) WZ Johannes, Kupang.
Sebelum menjalani perawatan di tempat itu, Hagar sempat ditelantarkan oleh paramedis selama tujuh bulan. Ketika ditemui Selasa (17/11/2015), Hagar Haki hanya tertidur dengan diselimuti selembar kain, dan sesekali menggerakkan tubuhnya sambil meringis kesakitan.
Sakit itu datang dari lubang di bagian sebelah kanan perut yang terus mengeluarkan cairan. Kerabat dekat Hagar Haki yang juga adalah Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi NTT Hermanus Boki mengecam tindakan RSU WZ Johannes yang dinilainya sebagai bentuk kekejaman.
"Saya baru saja diberitahukan oleh keluarga pada awal bulan November sehingga pada tanggal 2 November, saya minta pertemuan dengan Direktur RSU dan jajarannya serta para dokter. Setelah pertemuan itu, meski tidak ada kesepakatan, Hagar mulai diperhatikan lagi," kata dia. "Namun, hingga hari ini penyakitnya pun belum sembuh dan malah tambah parah," sambung Boki. Penelantaran tersebut, kata Boki, bermula ketika Hagar yang tengah hamil tujuh bulan kemudian melahirkan secara prematur.
Baca juga: Hina dan Lecehkan Pasien Miskin, Ikatan Dokter Indonesia Kecam Pihak Rumah Sakit
Bayi itu akhirnya meninggal karena kondisi kekebalan tubuh yang menurun. Pasca-kematian bayinya itu, kondisi fisik Hagar malah memburuk. Akibat belum diurus secara baik, Hagar mengalami pembengkakan di bagian perut. Ia pun dirawat di Puskesmas Nailiu pada Januari 2015. Akibat keterbatasan peralatan, Hagar pun dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Naibonat, akhir Januari 2015.
Saat sampai di RSUD Naibonat, Hagar sempat dirawat selama dua hari, tetapi tidak ada perubahan. Kemudian, dia dirujuk ke RSU WZ Johannes dan teregistrasi pada tanggal 12 Februari 2015. Saat masuk dan dilayani di RSU WZ Johannes, Hagar didiagnosis menderita gangguan pada rahim (kandungan) sehingga dokter menyarankan pengangkatan rahim melalui operasi besar.
"Setelah operasi besar dilakukan, dua minggu kemudian, kondisi pasien malah memburuk karena benang jahitan operasi lepas. Akibatnya, Hagar dibawa ke lantai dua untuk dijahit ulang," kata dia. "Satu minggu kemudian, jahitan itu terlepas lagi, dan dijahit kembali," ungkap Boki.
Pasca-jahitan ulang kedua, Boki melanjutkan, dokter kemudian mendiagnosis lagi. Hasilnya, menurut dokter, posisi sumber nanah belum teridentifikasi. Dokter lantas membuat lubang pembuangan sementara di perut (kolostomi). Pembuatan lubang itu tidak diketahui oleh keluarga, dan hanya diketahui dan disetujui oleh suami Hagar.
Baca juga: Duh, Dokter dan Perawat Sibuk Selfie Saat Tangani Pasien Luka Bacok
"Tindakan kolostomi itu dilakukan dengan harapan, setelah kondisi pasien membaik, lubang itu akan ditutup. Namun, dalam rentang waktu dari Maret hingga akhir Oktober, pasien justru tidak ditangani dengan serius alias ditelantarkan," kata Boki. Setelah menerima laporan dari keluarga, dia kemudian meminta kesempatan untuk berdialog dengan Direktur RSU WZ Johannes, sejumlah pejabat rumah sakit, dan para dokter.
Dari hasil pertemuan itu, pihak medis berkilah bahwa hal itu bukan malapraktik, dan pihak RS sudah melakukan penanganan medis dengan baik. Perang argumen sempat terjadi antara Boki dan pihak rumah sakit. Namun, tetap tidak ada jalan keluar.
KOMENTAR