Tabloidnova.com - Meski mengantongi NEM tinggi, Safrina selalu ditolak masuk ke sekolah umum negeri terbaik di Jogja. Ia juga dibully di setiap tahapan sekolah. Namun, berkat kecemerlangan otaknya, ia berhasil lolos masuk perguruan tinggi negeri dan lulus dengan IP bagus. Ia pun melanjutkan studi S2 sembari bekerja sebagai guru tidak tetap di di sebuah sekolah berkebutuhan khusus.
Menginjak kelas 4 SD, saya mulai minta Ibu membelikan buku-buku mata pelajaran seperti yang diberikan pada kakak-kakak saya. Ibu sempat ragu saya bisa membaca, karena sebelumnya Ibu hanya mengajari saya dengan bacaan “ba.. bi… bu..” disertai gambar-gambar. Saya amat bosan dengan semua itu. Saya ingin seperti kakak-kakak saya yang pandai membaca.
Karena saya terus mendesak dan merengek, Ibu pun akhirnya membelikan buku-buku mata pelajaran untuk sekolah umum. Saya senang sekali. Buku-buku itu saya lahap. Ibu heran ketika saya bisa membaca dan memahami soal-soal di buku mata pelajaran itu. Hasilnya saya bisa naik ke kelas 5. Hasil akhirnya, ketika Sekolah Luar Biasa bisa melaksanakan ujian sekolah bersamaan dengan sekolah umum secara nasional, saya turut ujian. Saya lulus dengan nilai yang amat bagus. Semua mata pelajaran yang diujikan rata-rata nilainya sembilan.
Dengan NEM tinggi, seharusnya saya bisa memilih sekolah umum negeri terbaik di Jogja. Tapi, lagi-lagi perlakuan buruk menimpa saya. Saat Ibu mendaftarkan saya ke sekolah negeri terbaik di Jogja, saya langsung ditolak pada tahap pendaftaran. Padahal, kalau acuan masuk ke sekolah adalah NEM, saya masuk kriteria. Diskriminasi ini membuat sakit.
Karena tidak mau berdebat, Ibu memasukkan saya ke SMP Depok, Sleman. Kepala sekolahnya kala itu bisa memahami kondisi saya. Saya tidak mau mengecewakan sekolah itu dan saya berhasil lulus dengan nilai ujian nasional yang baik.
Begitulah, masalah selalu muncul saat hendak mencari sekolah baru. Perlakuan buruk terjadi lagi saat mau masuk SMA, sehingga saya akhirnya memilih masuk SMA GAMA, karena sekolah negeri lain menolak saya.
Bullying belum berhenti. Kali ini perlakuan buruk datang dari teman-teman yang tidak mau berteman dengan saya. Teman saya hanya anak-anak yang bernasib sama, disisihkan seperti saya. Puncaknya ketika beberapa teman hendak mencontek pekerjaan saya saat ujian. Tentu saja saya tidak mau memberi contekan. Tapi, apa yang terjadi? Usai liburan sekolah pasca ujian, tak satu pun teman yang hendak mencontek itu mau menegur saya. Lhah, saya belajar keras untuk membuktikan bahwa saya bisa beprestasi di bidang akademis, kenapa saya harus memberi contekan kepada mereka?
Namun, Tuhan memang Maha Adil. Dari sekian teman yang hendak mencontek itu, hanya saya yang akhirnya berhasil masuk perguruan tinggi negeri. Saya diterima masuk Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Di sinilah, saya mulai merasa dihargai. Saya memiliki banyak teman. Bahkan sampai sekarang ada teman-teman yang skrpsinya belum selesai dan minta bantuan saya.
Saya memang unggul di bidang akademis, tetapi lemah di bidang urusan kewanitaan. Saya tidak mahir mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring atau memasak. Kenapa? Karena fokus saya sejak kecil adalah mengejar prestasi akademis untuk membukikan pada semua orang bahwa saya bisa sejajar dengan mereka.
Guru Tidak Tetap
Sungguh saya tidak pernah menyangka bisa masuk bangku kuliah dan lulus dengan IP yang bagus. Karena itu saya kemudian melanjutkan studi S2 sembari bekerja sebagai guru tidak tetap di di Sekolah berkebutuhan khusus Yapenas. Saya mengajar anak-anak CP di sekolah ini. Ada yang kondisinya lebih parah dari saya. Bahkan ada mantan teman SD saya yang sekarang menjadi siswa saya.
Di UNY, saya kuliah S2 mengambil jurusan Bimbingan Konseling Islam. Di Jurusan ini, ilmu psikologinya banyak yang bisa saya pelajari. Kenapa saya ngotot melanjutkan pendidikan tinggi? Karena saya punya cita-cita ingin menjadi dosen agar bisa mengajar mahasiswa-mahasiswa calon guru CP. Sebab kalau saya mengajar anak-anak CP, kemampuan saya terbatas. Nah, kalau saya jadi dosen, pikiran dan idealisme saya bisa saya tularkan pada mahasiswa.
KOMENTAR