Melalui Pelangi Nusantara, ia mengembangkan bisnis handycraft dengan melibatkan para ibu sebagai anggota. Tak seperti pengusaha kebanyakan yang berusaha “mematikan” pesaingnya, ibu dua anak warga Singosari, Malang, ini memang melibatkan anggota untuk mengelola lembaga yang ia dirikan, termasuk dalam hal pembagian laba usaha di bidang handicraft.
Toh, dengan cara ini ia justru mampu menerima pesanan jumlah besar dalam waktu singkat. Tak heran, berbagai penghargaan dalam dan luar negri berhasil ia sabet, di antaranya UKM Award dari Gubernur Jatim, Paramakarya Award 2015 dari Presiden, serta penghargaan sebagai delegasi Indonesia ke Global Interpreneur Summit 2016 di California, AS.
Awal mula Anda mendirikan usaha ini bagaimana sih?
Sebenarnya saya mengawali usaha bukan dari pengrajin craft tetapi bermula dari seorang penjahit pakaian, anak-anak sampai dewasa, laki-laki maupun perempuan. Kebetulan sejak remaja saya memang gemar menjahit dan pernah mengikuti kursus segala. Lulus kuliah dari Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, Malang, saya menikah dan membuka jasa penjahit. Cukup sukses, bahkan pernah punya 10 karyawan. Saya bagian memotong atau membuat desain, sementara yang menjahit karyawan.
Kok bisa putar haluan ke usaha handicraft?
Karena usaha menjahit cukup ramai, limbah kain potongan sisa menjahit jadinya menumpuk. Oleh ibu saya, Kibtijah (80), limbah itu dibuat berbagai kerajinan sederhana, seperti selimut, taplak, sarung bantal, taplak meja, serbet, sarung tangan dapur dan sebagainya. Pokoknya apa saja, karena ibu saya memang orangnya terampil dan katanya sayang kalu limbah itu hanya dibuang.
Lama kelamaan, hasilnya kok makin bagus, bahkan banyak orang yang datang dan suka. Nah, karya ibu saya itu coba saya pasarkan ke orang-orang yang datang. Dari sana kemudian terpikir kerajinan pembuatan kain perca itu akan lebih prospektif jika dikembangkan.
Lalu saya mulai serius belajar membuat berbagai jenis kerajinan, mulai, tas, dompet, taplak meja. Jadi sifatnya lebih sebagai pengisi waktu, sementara jasa menjahit masih terus berjalan. Sekarang sih sudah tidak karena fokus ke craft.
Lantas bagaimana ceritanya banyak yang kemdudian belajar ke Anda?
Ya, ternyata pembuatan kerajinan itu berkembang dan banyak teman-teman yang minta diajari. Itu sekitar tahun 2008. Kebetulan saya suka mengajar, jadi dengan senang hati saya bersedia mengajari mereka. Bahkan, kalau mereka tidak bisa datang, saya yang mendatangi mereka. Saya juga minta mereka mengajak teman-teman yang lain.
Pertama kali saya membuat komunitas di kawasan yang jaraknya cukup jauh dari rumah, dan tersebar di berbagai kecamatan di Malang. Bahan dasarnya saya bawa dari rumah. Satu kelompok 4 sampai 10 orang.
Saya amati waktu itu kualitas hasilnya masih sederhana karena pengetahuan saya juga terbatas. Demikian pula metoda pembuatannya, tergantung saya, karena waktu itu belum ada pakemnya. Kendati demikian, jumlah ibu-ibu yang minta diajari makin hari makin banyak sampai saya mulai keteteran karena waktunya tidak cukup. Demikian pula limbah perca, sekarang tidak cukup lagi dan harus beli dari pemasok dari berbagai daerah dengan harga Rp4000 – Rp7000 per kilo.
Yang minta ajari itu siapa saja?
Campur-campur, mulai ibu-ibu korban PHK, ibu-ibu muda sampai para TKW yang pulang kampung. Bahkan, sebagian ibu-ibu muda datang kemari diantar suaminya sendiri. Suaminya menitipkan istri mereka untuk belajar membuat keterampilan supaya menghasilkan. Kalau belajar di Balai Latihan Kerja (BLK) kan tidak boleh bawa anak padahal mereka ini, meski usianya baru 17 tahun, sudah punya anak.
Demikian pula para TKW, mereka sangat gembira karena dengan punya keterampilan seperti ini, mereka tak perlu lagi ke luar negeri. Makanya saya cukup gembira karena selain berkumpul mencari nafkah bersama tetapi juga mengugah kesadaran supaya tidak ada kawin muda. Sekarang mulai banyak relawan mahasiswa yang membantu, juga sharing tetang sosial kemasyarakatan.
Sekarang kan makin banyak jumlah pengrajinnya. Bagaimana pengelolaannya?
Tahun 2012 saya bentuk kelompok-kelompok. Masing-masing kelompok punya nama sendiri beserta ketua dan anggota serta program kerja. Namanya menarik-menarik lho, contohnya Kelompok Hasta Terampil, Taman Kreasi, Kriya Perempuan, Pujisari, Genitri, Kartini, dan lain-lain. He he.
Saat ini sudah ada 21 kelompok yang masing-masing anggotanya antara 5 sampai 15 orang. Pokoknya total anggota saya sekarang sekitar 350 orang yang aktif. Sejak tahun 2014 saya juga buat komunitas pengrajin limbah kain perca dengan nama Pelangi Nusantara (Pelanusa).
Dengan membuat kelompok, secara organisasi lebih tertata rapi. Soalnya, setiap kelompok ini dipandu satu orang pendamping yang saya ambilkan dari kelompok-kelompok tetapi yang memang sudah mahir. Setiap kelompok ini, paling tidak ketua dan beberapa anggota, setiap Rabu berkumpul di sini. Mereka akan mendapat pelatihan mulai dari pengelolaan keuangan sampai membahas pesanan yang akan dikerjakan bersama.
Misalnya kami akan membuat dompet model terbaru, maka saya dan koordinator utama akan mengajari ketua masing-masing kelompok. Tidak sekedar membuat tetapi juga dengan SOP-nya, mulai bagaimana memotong, menjahitnya diawali dari sisi mana, memasang retsletingnya kapan, sampai kerajinan itu benar-benar jadi utuh. Nah, Ketua Kelompok inilah yang mengajari anak buahnya, sehingga cara membuat dan hasilnya sama.
Kenapa panduannya atau SOP-nya harus sebegitu detail, bukankah setiap pengrajin punya cara sendiri yang penting hasilnya sama?
Tujuannya cuma satu, biar produk kami selaras hasilnya dan tidak ada pengulangan kerja. Orang lain kalau melihat dompet atau kerajinan kami yang lain pasti mengira itu produk hasil pabrikan karena bentuknya yang sama persis. Padahal itu handmade yang dibuat banyak orang.
Kuncinya SOP itu tadi. Bahkan belakangan ini, setelah nama kami makin berkibar, sudah mulai ada relawan dari berbagai Universitas di Malang, dari berbagai latar belakang. Jadi para anggota juga diajari tentang surat menyurat melalui email sampai memasukkan kerajinannya ke blog, Instagram atau medsos lainnya.
Manfaat lain pertemuan setiap Rabu, selain diajari bahasa Inggris oleh para relawan, dijelaskan juga bagaimana profit sharingnya, harga dari konsumen berapa, dipotong bahan, nanti akan ketemu berapa ongkos untuk pengrajin dan berapa hasil untuk saya. Bahkan kadang di antara kami saling tawar menawar. Pokoknya manajemen kami manajemen terbuka sehingga para anggota merasa nyaman karena dilibatkan.
KOMENTAR