Jangan salah, walau namanya Padang Guci, rumah makan ini tidak menyediakan makanan khas Sumatera Barat. Pasalnya, Padang Guci adalah nama sebuah kota di kawasan Bengkulu Selatan. Selain menyimpan banyak lokasi wisata alam dan sejarah, Kota Padang Guci juga memiliki warisan kuliner yang kaya.
Hidangan di tempat ini sangat beragam, selain olahan daging sapi, ada pula olahan daging ayam dan aneka hasil laut. Satu jenis masakan yang unik yang ditemukan di tempat ini adalah gulai rotan muda. Di tempat ini, rotan muda yang disebut umbut rotan dimasak menggunakan beragam bumbu dan bersantan encer.
Di Bengkulu, sayur umbut rotan tidak mudah ditemukan, “Biasanya ada di desa atau kampung,” ujar Lydia Haryani (33), pemilik sekaligus penguasa dapur Rumah Makan Padang Guci yang berada di Jalan Danau, Kota Bengkulu itu.
Berbagai masakan khas Bengkulu juga dapat ditemukan, seperti ikan bumbu tempoyak, gulai kikil sapi, ikan asap atau salai, pindang dan gulai ikan gabus, serta liling, bentuknya seperti keong kecil yang hidup liar di sungai. Semua masakan ini dihidangkan di atas meja beserta sambal, nasi putih dan aneka lalapan seperti pucuk daun singkong rebus, terong bulat dan ketimun.
“Ada pula masakan ikan menggunakan jamur kukuran. Jenis jamur ini adalah jamur liar yang ditemukan di hutan. Untuk mendapatkannya sangat susah, sehingga kami stok dengan dikeringkan terlebih dahulu agar awet disimpan. Sekali masak kami butuh 10 kilogram jamur,” ujar Lydia yang total menghidangkan 25 jenis masakan.
Sembilan tahun sudah Lydia membuka rumah makan ini. “Enggak bermimpi memiliki usaha seperti ini. Awalnya saya membuat rumah makan karena saya enggak tahu mau kerja apa. Karena saya bisa masak, dengan modal tabungan dan menjual perhiasan, saya membuat rumah makan ini. Semua resep dari orangtua yang saya pelajari,” terangnya.
Dipotong biaya kontrak dan membeli berbagai kebutuhan rumah makan, “Sisanya saya belikan bahan masakan. Masih sedikit-sedikit saja masaknya ketika itu, ternyata semakin lama pelanggan juga semakin banyak. Bila dulu mengontrak. Sekarang, saya sudah punya tempat sendiri dan memiliki satu cabang,” terang anak kedelapan dari sepuluh bersaudara ini.
Kripik Ikan Baledang: Sayang Bila Dibuang
Tahun 2006, Fadia Salim (43) mencari kesibukan sekaligus menambah penghasilan keluarga. “Kebetulan suami kerja di Jakarta dan kirim uang sebulan sekali. Ketika jalan-jalan ke pantai, muncul ide membeli beberapa ikan asin dan saya kemas menarik untuk dijual dengan merk ‘Pelangi’. Saya kemudian titip di sentra oleh-oleh, ternyata laku keras,” kenangnya.
Tanpa membutuhkan waktu lama dan modal besar, usahanya semakin lama semakin besar. Bahkan Fadia mampu menambah produksi dan mempekerjakan warga sekitar rumahnya. “Padahal kalau dipikir, apa yang saya lakukan ketika itu sungguh sederhana. Hanya memberi kemasan menarik, cantik dan rapi, ternyata bisa menambah pemasukan keluarga. Ide itu juga muncul karena ketika itu oleh-oleh Bengkulu hanya itu-itu saja, enggak ada inovasi,” beber perempuan berhijab ini.
Langkah yang diambilnya tidak cukup sampai disitu, Fadia melakukan pembinaan kepada nelayan yang memproduksi ikan asin agar dapat menghasilkan ikan asin yang bersih dan higienis. “Saya juga melakukan inovasi dengan menjual ikan teri asin tanpa kepala. Ibu-ibu ada yang enggak suka kepala ikan teri, jadi saya jual dan laris. Ikan teri dulu masih utuh, dengan produk ini jadi praktis.”
Dari situ Fadia berkenalan dengan ikan yagn disebut baledang oleh nelayan setempat. Tak disangka, dari pertemuan itu muncul ide kreasi melahirkan kripik ikan Baledang dan kemudian menjadi salah satu oleh-oleh khas Bengkulu. “Oleh nelayan, ikan Baledang yang kecil tidak bernilai ekonomis tinggi hingga dibuang atau diabaikan begitu saja. Satu kilogramnya ketika itu hanya Rp2.000. Saya coba dijadikan peyek atau keripik dan ternyata banyak yang suka sampai sekarang.”
KOMENTAR