Inilah Pri Utami, ahli geotermal atau panas bumi yang dipunyai Indonesia. Dosen Fakultas Teknik UGM ini sejak mahasiswa bermimpi menguasai ilmu geotermal. Kini perempuan kelahiran Surabaya ini menjadi salah seorang perempuan duta geotermal dunia sejak tahun 2012 dan peraih New Zealand - ASEAN Award dari pemerintah Selandia Baru tahun 2015.
Bagaimana ceritanya bisa menjadi ahli geotermal atau panas bumi?
Menekuni geotermal tidak pernah ada dalam bayangan saya saat masuk kuliah di Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mata kuliah Geotermal kala itu belum berkembang seperti sekarang.
Lalu apa titik balik Anda jadi tertarik geotermal?
Suatu kali, saya diajak ibu dan kakak berwisata ke Dieng. Saya lihat ada uap keluar dari perut bumi. Lalu ada orang melakukan pengeboran bumi dan keluarlah uap. Juga ada perusahaan yang mengkonversi uap menjadi energi listrik.
Saya sangat tertarik dengan semua aktivitas di lokasi itu. Saya datangi para ahli, lalu mulai tanya ini itu, apa yang sesungguhnya mereka kerjakan. Mereka bilang sedang melakukan kegiatan eksplorasi panas bumi untuk diubah menjadi energi listrik. Mereka bekerja untuk sebuah perusahaan geotermal. Sejak saat itu rasa penasaran saya tentang geotermal semakin besar, karena saya merasa bisa melakukan apa yang mereka kerjakan. Saya, kan, kuliah di Geologi.
Agar mudah dipahami awam, apa itu panas bumi dan apa, sih, kegunaannya?
Panas bumi sering keliru dipahami dengan pemanasan global, lalu udara menjadi panas. Bukan begitu. Panas bumi adalah energi panas yang tersimpan di dalam bumi. Untuk mendapatkan uap panas dari dalam bumi pada kedalaman 1-3 km bisa dilakukan dengan cara pengeboran, kemudian akan keluar uap atau campuran air dan uap panas.
Setelah sampai di permukaan, lalu dipisahkan atau diekstrasi. Uapnya dikirim ke pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Tenaga uap itu akan menggerakkan turbin, dan kemudian tenaga gerak diubah menjadi tenaga listrik. Panas bumi dapat juga dimanfaatkan secara langsung, contoh mudahnya adalah pemanfaatan panas bumi untuk pemandian air panas.
Baiklah. Jadi, apa yang Anda lakukan pasca wisata ke Dieng?
Kegiatan pengeboran uap itu membuat hati saya terusik. Saya mencari tahu di mana saya bisa mengerjakan tesis dengan topik geotermal. Orang-orang di proyek Dieng itu bilang, saya bisa ke kantor pusat perusahaan tersebut. Jadi saat libur kuliah, saya mendatangi kantor yang dimaksud di Jakarta.
Tanpa sungkan, tanpa malu, saya datang minta diberi kesempatan magang di sana. Maksud saya agar kelak saya bisa menyusun proposal untuk praktek kerja lapangan dan menyusun topik tesis saya.
Anda diterima?
Saya malah “dimarahi” oleh salah seorang praktisi geotermal yang saya temui. He he he. Beliau bilang saya hanya akan merepotkan saja. Tidak punya ilmu, tapi ingin bekerja. Tapi, karena itu musim liburan dan tidak ada kegiatan lain, saya memaksa minta diizinkan meski hanya nongkrong di sana.
Melihat kesungguhan saya, mereka mengizinkan saya nongkrong di perusahaan tersebut asal tidak minta gaji. Begitulah, tiap pagi saya datang ke perusahaan. Kerjanya nongkrong di perpustakaan, baca-baca buku sampai jam kantor selesai.
Sepanjang hari saya baca buku apa saja yang berkaitan dengan geotermal. Apa dan di mana saja potensi geotermal di Indonesia dan dunia, bagaimana meneliti, mengeksplorasi, dan memanfaatkannya. Kenapa uapnya bisa untuk pembangkit tenaga listrik.
Kegiatan itu saya lakukan sampai dua bulan. Kalau ada seminar di kantor itu, saya ikut mendengarkan. Atau kalau ada komputer nganggur, saya minta izin pinjam agar bisa belajar bagaimana mengolah data hingga bisa berubah menjadi gambar-gambar bawah permukaan bumi yang menarik.
Begitu saja?
Genap dua bulan, saya pulang ke Yogya membuat proposal agar bisa melakukan kerja praktik lapangan yang dikelola oleh perusahaan tersebut. Akhirnya saya diizinkan kerja praktik. Saya diberi satu daerah untuk diteliti. Tapi mengolah data di kantor saja kan membosankan, ya. Jadi kalau mereka ada kerja proyek di lapangan, saya merengek ikut. Awalnya mereka keberatan, karena khawatir saya cuma merepotkan. Tapi saya janji tidak akan merepotkan. Mereka tak bisa menolak lagi. Saya senang sekali.
Di mana kerja lapangannya?
Di Karaha, Talaga Bodas, Garut, Jawa Barat. Saya dititipkan di rumah Pak Lurah. Ekplorasi pertama, kerja saya seperti kuli. Membantu membentangkan kabel sewaktu para ahli mengukur tanah yang disurvei. Istilahnya buminya disetrum kecil-kecil untuk mencari sinyal apakah ada kandungan panas bumi di dalamnya.
Tapi, buat saya itu belajar, saya senang. Selain melihat pemandangan indah, naik turun gunung bawa alat-alat, menurut saya itu keren sekali. Sejak itulah saya merasa bahwa jalan hidup saya ada di penelitian geotermal.
Keuntungan apa lagi yang Anda peroleh?
Saya mulai berani membaca buku-buku tentang geotermal yang dibaca bapak-bapak bos di perusahaan itu. Mereka kuliahnya, kan, di luar negeri. Buku-buku bacaannya karangan para pakar geotermal. Pelajaran di buku-buku mereka saya serap. Tak ada satu pun bos yang menegur atau melarang “ulah” saya itu.
Akhirnya Anda mengabdi sebagai dosen di UGM?
Tahun 1992 saya lulus dari UGM, tetapi belum menemukan jalur karier yang sesuai keinginan. Maka saya kembali lagi ke perusahaan tempat saya melakukan kerja praktik dulu. Saya memohon agar bisa membantu penelitian mereka. Jadilah saya bolak-balik Yogya-Jakarta. Ketika ada rekrutmen dosen di UGM saya mendaftar, tapi otak saya terus memikirkan geotermal. Tahu hal itu, dosen-dosen saya menyarankan agar saya terus mempelajari geotermal dan bekerja sebagai dosen dan peneliti geotermal yang memang dibutuhkan oleh UGM.
Lalu bagaimana ceritanya bisa memperoleh beasiswa ke Selandia Baru?
Begini. Sebenarnya negeri itu dulu banyak memberikan beasiswa kepada karyawan di kalangan industri. Nah, saya termasuk yang beruntung. Kala itu saya sering nongkrong dengan teman-teman di perusahaan. Suatu hari saya dengar kabar, para profesor geotermal dari Selandia Baru akan datang ke Indonesia memberi kursus. Berhubung saya sudah membaca semua bukunya dan saya mendapat rekomendasi dari UGM untuk mengikuti kursus yang dibawakan oleh para profesor tersebut, maka saya pun menjumpai mereka. Saya bilang saya mengenal karya mereka. Mereka terlihat kaget dan senang.
Di akhir kursus, salah seorang profesor itu menyodorkan formulir agar saya ikut kursus gratis selama 3 bulan di Geothermal Institute yang menjadi bagian dari The University of Auckland, Selandia Baru. Semua biaya ditanggung. Bukan main senangnya saya. Terlebih saya belum ada pekerjaan tetap. Juga belum ada hasil rekruitmen dosen UGM.
Enggak nyangka, ya, setelah tiga bulan kursus kelar, saya ditawari lagi tambahan kuliah selama 9 bulan. Kali itu adalah kesempatan kuliah untuk meraih gelar Post Graduate Diploma in Geothermal Energy Technology dengan meneliti lapangan panas bumi Ulumbu (Flores). Tentu saja saya sangat mau. Jadi di negara itulah saya mulai kenal dengan banyak ahli dan praktisi geotermal dari seluruh dunia.
Mulai kapan jadi dosen di Fakultas Teknik UGM?
Pulang dari Selandia Baru pada tahun 1995, saya sudah diterima jadi dosen di UGM. Pekerjaan yang menunggu juga sudah banyak. Diminta pemerintah membantu sumbangan pemikiran, juga membantu Asosiasi Panas Bumi Indonesia di mana saya menjadi salah satu pengurusnya.
Tahun 1997, saya menikah dengan Andreas Dianto Tirtosudarmo, MT, kakak kelas saya di Fakultas Teknik UGM dulu, kemudian kembali ke Selandia Baru untuk mengambil Master of Science di bidang Geologi, dengan meneliti lapangan panas bumi Kamojang (Jawa Barat). Saya pulang ke Indonesia pas krisis moneter tahun 1998.
Setelah sekian waktu bekerja menjadi dosen dan peneliti, saya mengambil gelar Doctor of Philosophy in Geology juga di University of Auckland dengan meneliti lapangan Lahendong (Sulawesi Utara) dan di wisuda tahun 2012.
Selain dapat ilmu, apa yang bisa Anda petik selama menimba ilmu di Selandia baru?
Persahabatan antar orang yang berbeda ras, agama dan bangsa. Semua disatukan lewat pendidikan. Jadi antar bangsa tidak perlu bertarung, tetapi harus mampu bekerja sama.
Pernah diiming-imingi berkarier di Selandia Baru?
Ya diiming-imingi, tapi begini lo. Saya memberikan alasan kepada mereka bahwa pemerintah Selandia Baru ada perjanjian dengan Indonesia di mana di dalam salah satu klausulnya mengatakan, mahasiswa yang sudah lulus harus membantu negara asalnya. Kalau saya bekerja di Indonesia dengan menggunakan ilmu yang saya peroleh dari negerinya, kan, saya juga membawa nama negeri mereka. Begitulah cara saya menolak tawaran itu.
Ternyata mereka bisa mengerti. Namun mereka meminta saya bisa membantu Selandia Baru yang sedang kekurangan dosen panas bumi. Atas persetujuan UGM saya diminta datang tiap tahun.
Jadi tiap tahun Anda mengajar di Selandia Baru?
Prioritas saya tetap UGM. Saat ini, selain jadi dosen saya juga Kepala Pusat Penelitian Panas Bumi UGM. Saya katakan kepada mereka, saya bersedia mengajar di Geothermal Institute pada libur antar semester di UGM, asal mereka mau memadatkan jadwal saya. Dan mereka menyanggupi.
Jadi, sejak tahun 2012 higga sekarang, tiap tahun saya mengajar di sana. Tapi itu bukan untuk mencari tambahan, tetapi untuk menggalakkan pengembangan sumber daya manusia di bidang panas bumi. Itu saya lakukan sebagai wujud kecintaan saya pada kedua almamater, UGM dan University of Auckland.
Kenapa memilih menjadi dosen, bukan kerja saja di perusahaan?
Bekerja di perusahaan itu juga baik. Tapi saya merasa dengan menjadi dosen bisa menghasilkan “orang” dan karya-karya yang bisa dikembangkan oleh para penerus. Hubungan saya dengan perusahaan juga dekat. Kami saling membutuhkan. Kalau ada sesuatu tentang lapangan yang belum saya ketahui, saya bisa menelitinya bersama pihak perusahaan. Saya juga bisa menitipkan anak-anak didik saya untuk belajar atau magang di perusahaan-perusahaan panas bumi. Seperti saya dulu, kan? Semua yang saya pelajari saat magang dulu sangat bermanfaat untuk saat ini.
Selain di UGM dan Geothermal Institute, Anda mengajar di mana lagi?
Saya pernah menjadi dosen tamu di Masaryk University, Republik Ceko, dan di United Nations University Institute for Sustainability and Peace di Tokyo, Jepang.
Anda juga salah seorang Women in Geothermal Ambassador untuk International Geothermal Association?
Iya. Tahun 2012 Asosiasi Panas Bumi Sedunia atau International Geothermal Association (IGA) melihat sedikit sekali perempuan yang bergerak di bidang geotermal. Bagaimana kalau mereka dipersatukan kemudian diminta mempromosikan pengembangan energi geotermal. Tidak hanya dari sisi ilmu kebumian dan teknologi, tetapi juga dari sisi ekonomi, hukum, dan sebagainya.
Lalu saya ditanya, apakah bersedia dijadikan duta. Tentu saya bersedia. Nah, akhirnya orang-orang dari IGA menunjuk beberapa perempuan dari berbagai negara dan mempertemukannya di World Geothermal Congress. Kami rapat bersama dan merumuskan misi. Antara lain sharing pengetahuan di antara perempuan yang bekerja di dunia geotermal, meng-encourage kaum muda untuk tidak ragu-ragu mengambil geotermal sebagai pilihan karier. Lebih dari itu juga menanamkan pengertian tentang perlunya pengembangan jenis-jenis energi terbarukan lainnya kepada setiap kalangan yang terkait.
Selangka apa, sih, ahli geotermal Indonesia, utamanya perempuan?
Totalnya saya tidak tahu persis, tetapi di universitas-universitas lain di Indonesia, karena kesadaran kolektif tentang pentingnya geotermal, sekarang sudah cukup banyak orang yang menekuni panas bumi. Demikian pula sudah banyak perempuan yang bekerja di industri geotermal. Beberapa di antaranya mantan mahasiswi saya. Itu satu kegembiraan bagi saya. Mereka bukan sebagai pesaing, melainkan mitra. Jadi adalah keharusan bahwa kami sebagai pendidik, peneliti, atau praktisi bersinergi.
Sebagai dosen, apa yang sudah Anda perbuat untuk geotermal?
Saya mengusulkan Geologi Panas Bumi menjadi mata kuliah wajib S-1, setidaknya di Teknik Geologi UGM terlebih dahulu. Dulu cuma mata kuliah pilihan. Alasannya, negara kita kaya akan sumber panas bumi, maka pemuda-pemudinya harus melek panas bumi. Kalau pada kurikulum sebelumnya hanya 2 SKS, mulai semester depan menjadi 3 SKS agar ada waktu praktikum. Bayangkan, saya mengajar mahasiswa dari berbagai negara di Geothermal Institute lengkap dengan praktikum, kok, mahasiswa sendiri cuma diberi kesempatan belajar 2 SKS? Dalam persaingan global kita bisa kalah.
Bersama mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) UGM saya membuat Festival Panas Bumi tahun 2014 dan 2015 di Lahendong, Sulawesi Utara yang kaya energi panas bumi. Saya mengajak mahasiswa peserta KKN agar menggiatkan peran serta masyarakat dalam pengembangan potensi panas bumi.
Panas bumi, kan, bukan hanya bisa dimanfaatkan sebagai energi listrik, tapi kawasannya bisa menjadi daya tarik wisata dan pengembangan ekonomi kreatif berbasis panas bumi, serta menjadi tempat untuk belajar tentang panas bumi. Dengan menjadi kawasan wisata yang dilengkapi dengan sarana pembelajaran publik, daerah-daerah dengan potensi panas bumi akan semakin laris sebagai tujuan pariwisata alam dan pendidikan.
Sudah dua tahun kami adakan festival tersebut bersama masyarakat, pemerintah daerah, dan industri dalam merayakan kekayaan panas bumi di Sulawesi Utara.
Sebetulnya, daerah mana saja di Indonesia yang potensi energi panas buminya besar?
Di daerah-daerah yang memiliki gunung api yang sumber panasnya masih aktif tetapi sudah tidak meletus. Misalnya di Sumatra dan Jawa. Di Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku juga terdapat potensi panas bumi.
Penting diketahui bahwa negeri kita kaya akan semua potensi sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan selain panas bumi itu sendiri. Dari mulai energi matahari, air, angin, panas dan arus laut. Kita hanya butuh pengelolaan yang baik sehingga secara bertahap dapat mengurangi ketergantungan terhadap energi tak terbarukan seperti minyak, gas, dan batu bara.
Apa kekurangan dari energi panas bumi?
Sumber panas bumi yang berkualitas baik yang adanya di bawah permukaan tidak gampang ditemukan, tetapi memerlukan penelitian yang mendalam, sehingga keuntungan tidak diperoleh seketika. Ada tanda-tandanya di permukaan yaitu manifestasi panas bumi seperti mata air panas dan keluaran uap berbau belerang.
Orang sering tidak fair terhadap panas bumi. Bau telur busuk yang timbul dari lokasi itu secara alamiah justru sebenarnya pertanda bahwa di bawah sana ada sumber panas bumi bertemperatur tinggi. Tinggal kita merunut, di manakah di bawah permukaan tanah di sana ada sumber energi panas.
Nah, sekarang tinggal tata-kelola tata wilayah oleh pemerintah yang perlu dibenahi, agar jangan sampai terjadi dampak yang kontra produktif akibat tumpang tindih antara pemanfaatan suatu daerah untuk pengembangan energi panas bumi dengan peruntukan lain yang tidak saling mendukung. Manusia yang harus menyesuaikan kondisi alam. Di negara lain hal ini sukses diterapkan, misalnya banyak daerah panas bumi yang sekaligus sukses dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata.
Banyak sekali kesibukan Anda. Apa hobi Anda di luar urusan geotermal?
Saya suka traveling ke pelosok negeri, juga keluar-masuk pasar tradisional. Kalau ke daerah kadang jalan-jalan mencari kain tenun atau sekadar berbicara dengan penduduk setempat.
Rini Sulistyati
KOMENTAR