Dedikasi menjadi guru di SLBN (sekolah luar biasa negeri) B Garut, tak sebatas membuat Hj. Yeti Indrawati hanya mengajar anak didiknya yang tuna rungu. Ia ingin murid-muridnya bisa melebur dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Yeti, meski tuna rungu dengan penampilan fisiknya yang normal, mereka sebenarnya memiliki bakat yang bisa digali dan ditampilkan. Sama seperti murid normal lainnya.
“Sejak saya mengajar di SLB saya punya niat bagaimana caranya agar murid-murid bisa tampil didepan masyarakat, bersosialisasi dengan mereka,” ungkap Yeti. Ia sungguh berharap agar makin banyak orang peduli pada anak-anak tuna rungu yang walau punya keterbatasan pendengaran, tapi sebenarnya punya banyak kelebihan.
Sejak 1998, Yeti pun mulai melatih para muridnya untuk aktif di bidang kesenian. Terutama menari. Tentu hal ini tak semulus membalik telapak tangan. Perjuangan dan pengorbanan Yeti berbenturan dengan banyak penolakan. Bukan hanya dari masyarakat sekitar, tapi juga kalangan guru –rekan sejawatnya- sendiri.
“Banyak yang ragu. Melatih mereka juga perlu biaya banyak untuk kostum dan banyak lagi. Tapi, saya tidak putus asa,” ujar Yeti yang baru bisa merealisasikan idenya ini ketika ada pergantian kepala sekolah SLBN yang baru.
Sejak itulah, Yeti rutin melatih anak didiknya yang tuna rungu. Tarian tradisional Sunda sengaja ia pilih dalam metode tersebut.
“Bagaimana agar anak-anak ini bisa diterima masyarakat lebih luas? Saya pikir lewat mengajari tarian massal ‘mapag panganten.’ Tentu tidak mudah, mereka tidak bisa mendengar tapi harus melakukan gerakan menari yang benar.”
Prosesi ‘mapag panganten’ dalam tradisi Sunda adalah tarian yang dilakukan sejumlah orang untuk menyambut pengantin dalam acara pernikahan.
Meski bukan ritual turun-temurun, tapi tarian ini sudah menjadi tradisi dan lahir dari kreasi para seniman lokal di Jawa Barat. Dan akhirnya dikembangkan oleh banyak paguyuban seni Sunda di Tanah Air.
Lalu bagaimana cara Yeti mengajarkan para muridnya? Rupanya ia bukan hanya harus memberikan kode-kode tertentu, tapi juga memotivasi tanpa henti para muridnya.
“Murid-murid sangat peka dengan rasa. Kadang mereka kurang percaya diri. Selain teknik menari, yang penting bagaimana menyemangati mereka agar perjuangan kami tak sia-sia,” ujar Yeti yang menjadi pengajar di SLB sejak 1988.
Segala perjuangannya itu pun berbuah manis. “Mereka pertama kali tampil ketika ada acara khitanan di Garut tahun 2000. Responsnya ketika melihat penampilan mereka, banyak masyarakat kaget. Sebab meski secara fisik terlihat sehat, tapi banyak yang tak mengira mereka anak tuna rungu,” kata Yeti bangga.
Penulis | : | nova.id |
Editor | : | Ade Ryani HMK |
KOMENTAR