Eh, tapi kok tidak ada yang mengingatkan soal pentingnya persiapan emergency packs? Saya saling cek dengan teman dan tetangga di sekitar rumah. Kalau mereka tidak melakukan evakuasi -dan suami tidak panik- kami tidak akan meninggalkan rumah.
Sekitar pukul 01.30 waktu setempat, ada gempa susulan yang lumayan membikin nervouz. Ketika saya cek ternyata kekuatannya 6,2 SR. Setelah saya rasakan aman, saya keluar dari rumah, untuk keliling sebentar ke sekitar blok. Orang-orang tidak ada yang panik. Tidak ada yang kabur. Jadi saya agak tenang.
Masyarakat juga tidak mengantri secara menghebohkan di pom bensin, kata suami saya, pagi tadi. Konsumen di supermarket juga tidak pada panic buying. Jadi ya kami tenang juga. Sebagian karena kami sudah punya persediaan darurat, sebagian karena menyadari tidak banyak yang bisa kami lakukan. Ini keseharian hidup yang harus kami hadapi.
Yang saya pahami dari cerita teman-teman adalah bahwa gempa pada tahun 2011 jauh lebih buruk, tetapi tidak ada orang sampai kelaparan. Semua tertangani dengan baik.
Begitu ada kabar tsunami -kendati tidak sedramatis Aceh- hal pertama yang saya pikirkan adalah: saya harus melakukan evakuasi ke mana. Saya tahu kami harus ke arah bukit, tapi pasti jalan ke arah sudah dipenuhi orang. Saya berpikir dulu, paniknya baru belakangan.
Agak seram
Tapi yang agak seram, yaitu bahwa mertua saya tinggal di daerah pantai. Tapi karena yang membangunkan kami adalah mereka, dan mereka sudah berjalan ke atas bukit, kami menjadi tenang. Kami sendiri, tadinya mau masuk ke mobil dan pergi, tetapi setelah mengecek tetangga dan teman-teman, ternyata mereka tidak pergi.
Saya lantas teringat, kalau tsunami di Aceh airnya bisa masuk ke dalam kota Banda Aceh sejauh dua hingga tiga kilometer. Sementara, rumah kami sekitar 10km dari garis pantai, sehingga kami akhirnya memutuskan untuk tetap di rumah.
Walaupun saat kembali ke tempat tidur, kami sudah menyiapkan pakaian dan sepatu yang siap dikenakan jika terjadi sesuatu.
Tribunnews, BBC Indonesia
KOMENTAR