NOVA.id - Kasus Via Vallen yang balik di-bully karena mengunggah kasus pelecehan yang ia alami menjadi bukti bahwa sebagian masyarakat kita masih minim wawasan dan punya pemikiran yang sempit.
Menurut pakar komunikasi digital yang mengajar di beberapa kampus terkemuka di Jakarta, Dr. Ir. Firman Kurniawan Sujono, M. Si., pelecehan dan bullying di media sosial bisa terjadi karena adanya kemudahan untuk bicara dengan bebas tanpa kendala.
“Watak media sosial itu memungkinkan kita berkomunikasi tanpa bertemu langsung. Kita juga bisa pakai akun palsu. Lalu karena perkembangannya luas dan dipakai semua orang, jadi minim pengawasan. Ini yang dimanfaatkan orang-orang untuk mengirim pesan seenaknya karena merasa tidak ada konsekuensi yang didapat,” terang Firman.
“Sayangnya, di media sosial banyak yang asal memberikan komentar tanpa mengindahkan pihak lain. Mereka ini seakan yang penting pendapatnya mendapat panggung. Tanpa peduli apa yang dirasakan pembacanya," lanjutnya.
Baca juga: Tak Nyaman dengan Plafon Rumah yang Rendah? Ikuti Tips Ini agar Terlihat Lebih Tinggi
“Di satu sisi, teknologi memberi kesempatan agar semua orang bisa bebas ngomong. Begitu dapat kesempatan, tanpa tahu mau ngomong apa, omongannya bermutu atau enggak, menyudutkan korban atau enggak, pokoknya ngomong aja,” lanjut Firman.
Selain itu, masyarakat juga belum sepenuhnya paham peristiwa mana saja yang tergolong pelecehan.
Padahal, pesan nakal dan cat calling (menggoda seseorang di pinggir jalan dengan tendensi untuk hal-hal berbau seksual) juga termasuk tindak pelecehan yang bisa membuat si korban merasa tidak nyaman dan tidak dihargai.
Untuk itu, korban berhak melawan.
“Sama kayak orang digoda di pinggir jalan, kalau si korban teriak, kan, pelakunya malu dan bilang, Cuma gitu aja kok kamu teriak? Aku kan cuma iseng! Itu upaya untuk mengalihkan rasa bersalah ke si korban. Nah, haknya Via Vallen untuk mem-publish kejadian ini karena dia sudah mengalami keadaan yang membuatnya tidak nyaman,” jelasnya panjang lebar.
Baca juga: Inspiratif! Berawal dari Koleksi Baju yang Menumpuk, Kini Buka 50 Toko
Firman pun berpesan, agar ke depannya hal ini tak lagi terjadi, sebaiknya ada lembaga sosial yang memberi literasi soal pelecehan.
Sehingga jelas batasannya perilaku mana saja yang tergolong pelecehan dan tidak boleh dilakukan.
Dari sisi pelaku, pilah-pilahlah pesan yang ingin disampaikan di media sosial.
Kalau pesan kita menyakiti dan melecehkan orang lain, sebaiknya tak perlu disampaikan.
“Pelecehan di ruang mana pun, ruang nyata maupun ruang digital, tidak seharusnya dilakukan. Dan jika tetap nekat dilakukan ya harus siap dengan konsekuensinya, di mana konsekuensi di medium digital jauh lebih dahsyat efeknya.”(*)
(Wida Citra Dewi)
Penulis | : | Healza Kurnia |
Editor | : | Healza Kurnia |
KOMENTAR