NOVA.id - Lurik adalah kain bermotif garis-garis yang awalnya jadi pakaian khas pria pedesaan di Jawa, berbahan dasar katun yang kasar dan harganya cukup terjangkau.
Kini lurik sering mendapat sentuhan warna-warna baru, sehingga bisa dipakai sebagai bahan kemeja atau komponen estetika untuk rompi atau jas.
Pengrajin lurik di Klaten, Jawa Tengah jadi salah satu saksi perkembangan kain ini di era modernisasi seperti sekarang.
Bukan hanya kegunaan kainnya yang makin beragam, tapi industrinya yang makin terjepit.
(Baca juga: Jan Ethes Didoakan Berjodoh dengan Anak Raisa, Reaksi Gibran Menohok)
Raden Rahmat, salah satu pengrajin lurik di Klaten tak mau pasrah begitu saja dengan zaman.
Ia masih mampu menghasilkan rajutan benang-benang yang diubah jadi kain lurik, tanpa menggunakan mesin.
Ia masih setia menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) yang biasa dikenal sebagai oklak.
Belasan oklak digerakkan oleh para perempuan dan laki-laki yang berusia renta.
(Baca juga: Unggah Foto Jadul, Kecantikan Ashanty Seakan Tak Pernah Luntur)
Tangan dan kaki mereka tak henti untuk mengoperasikan oklak-oklak yang juga terbuat dari kayu-kayu tua.
Raden Rahmat merintis bisnis luriknya sejak tahun 1960 melalui bendera bisnis Sumber Sandang.
Lelaki kelahiran 1932 ini meninggalkan kuliahnya di Jurusan Sejarah, Universitas Indoesia (UI).
“Pilih pulang saja ngurusi lurik. Mungkin darah dagang turun dari ibu. Karena dulunya ibu
jualan batik sampai ke Kediri,” jelas Rahmat di kediamannya yang sekaligus jadi tempat pembuatan lurik, Dusun Jalinan, Desa Kedungan, Pedan, Klaten, Jawa Tengah.
(Baca juga: Mudah Dilakukan, Ini Tips Mempunyai Tubuh Ideal pada Usia 40 Tahun)
Pada masa-masa itulah lurik Pedan mencapai zaman keemasan.
Daerah yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Solo itu jadi satu-satunya sentra produksi tenun lurik.
Bahkan ada sekitar 300 industri rumahan yang bisa menampung 7.000 pekerja.
“Mulai tahun 1950 sampai 1965, lurik Pedan mencapai zaman keemasannya. Bahkan bisa dikatakan, ludah pun bisa jadi api. Artinya industri lurik di kala itu sangat menguntungkan dan apapun soal lurik jadi uang,” tambah lelaki yang memiliki delapan anak ini.
(Baca juga: Dulu Artis Cilik, Kini Mantan Kevin Aprilio Ini Jadi Mama Muda Cantik!)
Lurik mulai meredup ketika zaman Orde Baru.
Menurut Rahmat, mulai era Presiden Soeharto, modernisasi di segala bidang untuk mendukung pembangunan dilakukan dengan gencar.
Imbasnya industri tenun ATBM mulai tergantikan dengan mesin.
“Masa keemasan lurik ATBM sudah lewat. Pamornya mulai turun sejak zaman Pak Harto, lewat modernisasi dan konglomerasi,” kata Rahmat.
(Baca juga: Cantik! Begini Penampilan Dinda, Atlet Panah Indonesia Pakai Batik)
Kondisi itu didukung dengan semakin sedikitnya para pengrajin lurik. Regenerasi pengrajin mandek. Anak-anak muda lebih memilih untuk bekerja di pabrik.
“Pengrajinnya sudah tua-tua. Dari Pedan saja bisa dihitung dengan jari,” seloroh Rahmat.
Walau diterpa dengan deru mesin, Rahmat memilih untuk bertahan dengan ATBM-nya.
Bagi dia, tetap menggunakan cara-cara yang tradisional itu serupa dengan melestarikan tradisi.
(Baca juga: Dari Anang Hingga Ayu Tingting, Ini Deretan Keluarga Artis dengan Busana Muslim saat Iduladha)
“Saya memilih bertahan, karena lurik ATBM harus lestari. Bagi saya ini (bertahan dengan ATBM) tidak hanya berhubungan dengan uang,” ucap lelaki yang berusia 86 tahun ini serius.
Hingga saat ini, terhitung tak lebih dari 5 orang Pedan yang jadi pengusaha lurik.
Rahmat masih bertahan dengan 50 oklaknya, meski hanya 15 oklak yang dioperasikan.
Jika dihitung-hitung, satu pekerja bisa menghasikan kain lurik 6-8 meter per hari.
(Baca juga: Mengalami Luka Tembak, Perempuan Ini Dapat Wajah Baru, Seperti Apa?)
Bandingkan dengan mesin, setiap hari bisa menghasilkan lurik hingga ratusan meter.
“Tapi kalau menggunakan ATBM, kelebihannya adalah pembeli bisa memesan lurik dalam jumlah yang tidak banyak. Makanya pengusaha yang menggunakan mesin tenun bakal over produksi jika pasar sedang sepi,” ungkap Rahmat.
Bertahan dengan cara pembuatan yang otentik, nyata-nyata tak membuat lurik tenunan Rahmat sepi pesanan.
Hasil kerajinan luriknya sudah melanglang buana memenuhi pesanannya di seluruh Nusantara.
(Baca juga: Sapi Inul Menangis Sebelum Disembelih, Begini Cara Inul Menghiburnya)
Belum lagi pesanan dari pembeli asal luar negeri, seperti Jerman, Perancis, dan Jepang.
“Kalau yang pesan dari orang luar, selain untuk baju juga memesan untuk dijadikan bagian desain interior, misalnya untuk gorden dan taplak. Tak hanya itu, mereka pesan lurik untuk cover jok kursi,” cerita Rahmat.
Sebenarnya Rahmat pernah punya gerai lurik dan kerajinan tangan di Bali sekitar tahun 1990-an.
Target konsumennya kala itu adalah orang mancanegara yang berkunjung ke Bali.
(Baca juga: Jadi Istri Jendral, Bella Saphira Kini Makin Cantik dan Anggun)
Menurutnya, lurik tenunannya ini digemari orang-orang asing.
“Tokonya tutup, karena kena imbas bom Bali 2002. Kunjungan ke Bali menyusut waktu itu, dan itu berdampak pada menurunnya penjualan di toko kami,” ungkap Rahmat.
Tak hanya itu, lurik tenunan Rahmat pernah menjadi acuan mereka yang bergerak di bidang fesyen.
Penulis fesyen sekaligus model era 1970-an, Nani Sakri adalah salah satunya.
(Baca juga: Diet Sehat di Hari Raya Iduladha, Tips Apa Saja yang Harus Dilakukan?)
Selain itu, masih ada desainer Poppy Dharsono.
Sedangkan yang terbaru adalah pesanan desainer Edward Hutabarat yang memesan lurik tenunan Sumber Sandang.
“Kalau Edo (Edward Hutabarat), kemarin pesan lurik pewarna alam. Pesannya sama anak saya,“ kata Rahmat.(*)
(Fajar Sodiq)
Penulis | : | Healza Kurnia |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR