Bisa Sebabkan Bunuh Diri
PMS bukan sembarang perubahan fisik maupun psikis yang berlangsung pada beberapa hari menjelang haid. Eric menegaskan, perlu pemastian gejala PMS itu berulang 2-3 siklus haid berturut-turut. Jika ya, barulah dapat dikatakan seseorang mengalami PMS.
Gejala PMS ini kebanyakan merupakan gabungan beberapa tipe PMS yang tidak berdiri tunggal. Misalkan, gejala PMS tipe A berkombinasi dengan tipe C yang menimbulkan peningkatan nafsu makan sekaligus perubahan emosional yang tak terkontrol.
Namun, pada kasus tertentu, kombinasi PMS tipe A dan D justru bisa memperparah kondisi emosi penderita PMS. PMS ini kemudian dikenal dengan PMDD (pre menstruation dysphoric disorder) yang menyebabkan penderita yang sudah depresi, makin parah.
Pada suatu tingkat dapat mencapai depresi tingkat berat, ditandai dengan ketidakmampuan melakukan kegiatan sehari-hari. "Sekitar 2-8 persen wanita dengan PMS bisa mengalami PMDD," ungkap Eric mengingatkan peluang terjadinya PMDD.
Bila PMDD disertai riwayat gangguan kejiwaan seperti sindrom manik-depresi (bipolar syndrome), kepribadian histronic maupun gangguan kepribadian ambang, serta sudah pernah tercetus ide bunuh diri, maka tak tertutup kemungkinan penderita depresi berat yang mengalami PMDD memutuskan bunuh diri.
Yossy tak menolak hal itu dapat terjadi, namun ia pun menekankan, PMS bukanlah pencetus utama dari keputusan bunuh diri. "Biasanya ada pencetus lain, misalnya sudah ada masalah yang cukup berat. Ketika PMS membuatnya semakin tak nyaman, ini akan makin memicu depresi yang sudah ada."
Terapi Obat & Kepribadian
Menghadapi gejala PMS memang gampang-gampang sulit. Ada yang bisa melewatinya sendiri tanpa masalah. Ada pula yang kerap menjadi masalah bulanan. Bila kerap menemui masalah siklus bulanan, baik Yossy maupun Eric menyarankan untuk berkonsultasi kepada ahlinya.
Menurut Yossy, pada tahap awal biasanya pasien akan dianjurkan mengikuti konseling. Tujuannya untuk menanamkan pikiran positif pada pasien. "Biasanya seseorang baru akan melakukan konseling ketika gejala PMS sudah cukup mengganggu dirinya maupun lingkungannya," ungkap Yossy.
Bila memang cukup mengganggu dalam konteks sosial, psikiater akan menganjurkan pasien mengikuti terapi suportif atau CBT (cognitive behavior therapy). Terapi ini memiliki tujuan utama untuk mengubah pola pikir. "Jadi, ketika ia merasa tak nyaman, ia tahu apa yang harus dilakukan!" terang Yossy.
Bila disertai gejala lain yang memperparah depresi seperti, kecemasan berlebih, kelabilan emosi, hingga sulit tidur, dokter akan memberi obat-obatan untuk mengatasi gejala tadi. Terapi ini bertujuan meningkatkan serotonin sehingga dapat memperbaiki mood.
Sedangkan untuk sehari-hari, Yossy menganjurkan bagi wanita yang kerap mengalami PMS untuk berolah raga lebih teratur. "Latihan fisik amat berguna untuk meningkatkan endorfin, sehingga bisa meningkatkan rasa nyaman," pungkas Yossy.
Laili Damayanti
KOMENTAR