Kasus kematian anak Omih dua tahun silam, kata Subroto Santoso, Direktur HRD Grup Panarub, tidak terkait langsung dengan demo yang dilakukan pada Juli lalu. "Soal cuti yang katanya tak diberikan, kami punya data absensi Omih. Dia juga tidak masuk kerja tanpa pemberitahuan. Ada form cuti yang bisa kami jadikan bukti kapan dia meminta izin cuti. Terhitung mulai tanggal 25 Desember 2010 sampai 2 Januari 2011. Ketika mendapat info dari Kelurahan Sepatan, anaknya meninggal dunia, kami berikan cuti dua hari."
Sementara soal tuntutan agar 1.300 karyawan dipekerjakan kembali di PDK, "Tidak seperti itu. Hanya 1.059 karyawan yang mogok kerja. Sisanya masih mau kerja setelah melalui proses dan dianggap karyawan baru." Ada juga karyawan yang tak mau bekerja lagi, akhirnya diberi uang kebijaksanaan berdasarkan lamanya masa kerja. "Saya pikir, mereka juga korban dan perusahaan ikut prihatin."
Selama mogok kerja tujuh hari, lanjut Subroto, aksi itu dilakukan secara spontan oleh para buruh, tidak sah, dan direkayasa. Seolah-olah ada simulasi kebakaran dan karyawan berhamburan ke lapangan. Di saat itulah muncul orasi dan pendudukan pabrik.
Bahkan, menurut Subroto, karyawan yang tak mau ikut demo diteriaki dan dikasari. "Kami sudah melakukan imbauan dan panggilan agar mereka bekerja lagi. Karena tak juga masuk kerja, kami anggap mereka mengundurkan diri."
Masalah sulitnya pemberian cuti dan sikap atasan yang dianggap tak manusiawi oleh buruh, "Bisa ditunjuk siapa orangnya. Itu sanksinya berat dan bisa dituntut, lho," tegas Subroto seraya berkata, ada mekanisme soal cuti. "Jika atasan pertama tak memberi izin, bisa mengajukan ke atasan di level berikutnya. Kami mengelola pabrik dengan ribuan karyawan. Tak ada itu yang namanya dibentak dan dipersulit!"
Ia juga menambahkan, perusahaan akan membayar secara rapel upah Januari-Maret dengan cara dicicil enam kali. "Ini sifatnya kebijakan, bukan normatif. Kami lakukan berdasarkan SK Gubernur. Tapi untuk 1.059 karyawan yang ingin kerja lagi, silakan saja, asal melewati prosedur yang sudah ditetapkan."
Nasib serupa Omih dialami pula oleh Sumiati (35), buruh PDK bagian sewing. Dampak PHK yang ia alami, anaknya harus putus sekolah. Sumiati yang baru ditinggal pergi almarhum suaminya, Jumadi, tampak tegar meski rasa kecewa tetap menggelayut di benaknya.
Belum genap 40 hari suaminya meninggal akibat sakit lever yang dideritanya selama dua tahun belakangan. "Ketika suami sudah muntah darah dan sekarat, hari itu juga saya minta cuti dan izin pulang cepat tapi tidak dikasih izin. Saya malah disuruh lembur oleh atasan."
Menjelang malam, Sumiati yang terus merengek kepada atasan untuk pulang akhirnya diberi izin. Ia pun segera membawa Jumadi ke ruang ICU RS Husada, Tangerang. Surat dokter untuk merawat suami hingga sembuh juga diberikan kepada perusahaan untuk memperkuat alasannya cuti. "Saya malah diomeli, dibilang banyak alasan. Akhirnya saya menghadap ke kepala bagian dan diberi dua hari cuti. Sampai akhirnya suami saya meninggal..."
Kini, setelah tiga bulan tak bekerja, praktis Sumiati harus beralih pekerjaan. "Saya stres. Kalau tidak kerja, bagaimana bisa menghidupi tiga anak? Semoga masalah ini cepat selesai, kami bisa kerja lagi, dan manajemen PDK mengubah sistem kerjanya. Kami jadi makin berani perjuangkan hak karena Omih sudah jadi inspirasi kami," tutup ibu tiga anak ini.
Ade
KOMENTAR