Senin (13/6) sekitar pukul 09.00, cuaca terlihat cerah. Jibut dan Yonas berangkat dari Lanud Husein Sastranegara untuk latihan terjun payung dalam rangka persiapan PON. Anak semata wayang Jibut, Rizki Paramukti (8) yang biasa disapa Arzi, diajak menonton aksi Sang Ayah.
Begitulah, dari ketinggian 7.700 kaki, mereka diterjunkan dari pesawat. "Menurut cerita teman-temannya, payung Yonas tidak mengembang atau tidak dikembangkan karena diduga dia black-out. Adik saya, sebagai pelatih, berusaha menolong dan mengembangkan payung Yonas. Tapi kejadian itu kira-kira sudah berada di ketinggian 400-an meter dari permukaan tanah sehingga akhirnya mereka jatuh ke tanah," kisah Yudo Nugroho (55), kakak Jibut.
Adegan menegangkan yang berakhir tragis itu, disaksikan Arzi. "Malah dia sempat tanya, kok, ayahnya enggak segera terjun? Padahal, saat itu ayahnya sudah meninggal," lanjut Yudo. Hingga ayahnya dikebumikan di TPU Jeruk Purut, "Arzi masih yakin, ayahnya bakal hidup lagi. Soalnya, waktu Arzi umur 3 tahun, Jibut cerita ke anaknya, dia pernah meninggal selama sebulan di Riyadh, Saudi Arabia, setelah jatuh dari terjun payung bersama teman-temannya. Rupanya cerita itu terekam kuat di benak Arzi sehingga ketika ayahnya benar-benar meninggal, dia yakin akan hidup lagi," papar Yudo yang juga seorang penerjun.
Saat kejadian tahun 2004 itu, tambah Yudo, Jibut diundang terjun bersama satuan militer di Jeddah di acara Olimpiade Terjun Payung. "Akibat jatuh, tulangnya patah di lima bagian. Kalau tidak salah, selama tiga bulan dia dirawat di Riyadh."
Kepergian Jibut untuk selamanya, membuat Arzi seolah jadi yatim-piatu. Masalahnya, sejak umur 3 tahun, ayah-bundanya telah berpisah. Ibunya, Dewi, menikah lagi dan Arzi tinggal bersama Sang Ayah. "Makanya hubungan mereka erat sekali. Tiap hari, Jibut melakukan tugas sebagai ayah sekaligus ibu. Pagi-pagi sudah memandikan dan menyiapkan sarapan Arzi. Setelah itu mengantarkan sekolah. Pulangnya mencuci pakaian dan bersih-bersih. Dia tidak mengambil pembantu untuk urus rumah tangganya. Jibut pergi ke kantor pun, Arzi sering diajak," urai Yudo.
Pendek kata, Jibut adalah sosok ayah yang bertanggung jawab dan amat peduli pada putra semata wayangnya. "Waktu jenazah Jibut dibawa pulang ke rumah orangtua kami di Cipete Raya, Jakarta selatan, saudara-saudara kami bilang, jangan terkejut bila membuka isi tas Jibut. Ternyata waktu saya buka, selain pakaian, ada bumbu dapur seperti bawang merah, bawang putih, dan cabe. Hobinya memasak dan makan. Dia juga terbiasa masak nasi goreng untuk Arzi. Hari itu sebelum terjun, Jibut sudah berencana bikin nasi goreng buat saudara-saudara kami yang tinggal di Bandung."
Soal bagaimana nasib Arzi nantinya, kata Yudo, sedang dibicarakan bersama. "Ibunya, kan, sudah menikah, jadi rasanya kurang nyaman buat Arzi bila ikut ke sana. Jibut dan Arzi selama ini tinggal di rumahnya di kawasan Halim Perdanakusuma."
Sepekan sebelum kecelakaan, kisah Yudo, Jibut mengirim sebuah foto lama via email. Di situ, Jibut menulis, "Mas, ini fotoku bersama ayah dan ibu, usai terjun pertama kali. Saya malah belum sempat tanya ke dia apa maksudnya mengirim foto hitam-putih itu, eh, dia malah sudah pergi buat selamanya."
Hidup Jibut memang seakan didedikasikan untuk terjun payung. Instruktur terjun payung profesional ini sudah mengukir begitu banyak prestasi. Terlahir sebagai anak ke-4 pasangan (alm) MayJend. Drs. Soemadi dan Sumiansih, Jibut banyak mengantongi medali emas dari berbagai perlombaan. "Sayangnya medali-medalinya itu tak disimpan dengan rapi." Hingga akhir hayatnya, Jibut masih tercatat sebagai anggota klub terjun payung AVES dan anggota United States Parachute Association (USPA).
KOMENTAR