Kisah Reny Ayu Wulandari, Mengabdi Negeri Mengajar di Rimba Sumatra

By Jeanett Verica, Senin, 10 Desember 2018 | 17:30 WIB
Dari kiri: Reny Ayu Wulandari (25 tahun) dan Monalisa Putri (22 tahun), dua orang guru relawan Sekol (National Geographic Indonesia/Zulkifli)

NOVA.id - Tanpa inisiatif dari Reny Ayu Wulandari, barangkali perubahan bakal sulit terjadi dalam kehidupan anak-anak Suku Anak Dalam di tengah rimba Sumatra Selatan.

Sejak usianya belum genap 22 tahun, Reny sudah memutuskan untuk mengabdi negeri dengan mengajar anak-anak Suku Anak Dalam membaca dan menulis.

Suku Anak Dalam sendiri sebetulnya masih menyimpan misteri. Misal, antropolog dan sejarawan belum menemukan kata sepakat tentang asal Suku Anak Dalam. Ditambah lagi banyaknya versi cerita rakyat tentang asal-usul suku terdalam di hutan Sumatra ini.

Baca Juga : Cara Jitu Atasi Pasangan Sulit Ejakulasi, Eitsss, Jangan Terburu-Buru Salahkan Diri Sendiri!

Kendati demikian, fakta ini tak menyurutkan semangat Reny untuk mengabdi. Dirinya pun menjadi orang luar yang paling lama hidup bersama Suku Anak Dalam, tepatnya di pinggir Sungai Pejudian.

Kisah inspiratif Reny bermula dari dua tahun lalu, di mana ia memutuskan menetap di dalam rimba guna menghabiskan waktu mengajar anak-anak Suku Anak Dalam membaca, menulis, dan berhitung.

Niat ini sendiri, kata Reny, lahir dari sesuatu yang sangat sederhana, yakni rasa malu.

Maksudnya?

Baca Juga : Gisel Bagikan Video Romantis Untuk Gading Marten, Masih Cinta?

“Kita semua tahu jika Suku Anak Dalam itu lekat dengan Jambi. Namun tidak banyak anak muda Jambi yang bersedia masuk ke hutan dan berbuat sesuatu. Saya malu, harusnya kami dari Jambi yang pertama turun,” katanya.

Sebelum menetap di rimba, dari rumahnya di pusat kota, Reny biasa memacu sepeda motornya setiap hari. Tergelincir dan jatuh dari motor saat melewati jalanan tanah berpasir pun sudah menjadi makanan sehari-hari.

Rutinitas itu lebih menantang, terlebih ketika hujan turun membuat jalan makin licin.

Sehingga setiba di rimba, Reny pun cuma bisa mengajar satu atau dua jam. Dia harus pulang sebelum sore jika tidak ingin melewati hutan dalam gelap malam.

Suasana belajar di Sekolah Apung dalam area pemukiman Suku Anak Dalam (National Geographic Indonesia/Zulkifli)

Baca Juga : Gemasnya Anak Daus Mini yang Jarang Terekspos, Sudah Jadi Murid SD Lho

“Dulu bolak-balik setiap hari. Dengan kondisi jalan yang macam itu capek juga,” katanya.

Saat pertama kali mengajar di rimba, Reny harus mendatangi rumah Suku Anak Dalam dari pintu ke pintu. Diakuinya cukup sulit mendapat kepercayaan dari orangtua anak-anak di sana.

Apalagi faktanya, mengenal aksara dan menulis dalam adat Suku Anak Dalam itu merupakan sebuah pantangan!

Dalam sejumlah komunitas adat, kata Reny, mereka yang belajar baca tulis bisa didenda berlembar-lembar kain sesuai aturan adat.

Baca Juga : 5 Kesalahan yang Perlu Dihindari Saat Memakai Concealer, Apa Saja?

Namun perlahan, Reny mulai membangun hubungan baik dengan mereka, membuka diri atas sikap dan perilaku Suku Anak Dalam, dengan begitu pula dia perlahan bisa diterima.

Alhasil, Reny menjadi orang asing pertama dari kota yang dipercaya menjadi guru.

Saat mengetahui Reny akan menetap dan tinggal bersama mereka, para lelaki dan pemuda Suku Anak Dalam mengambil inisiatif. Dalam sekejap mereka membangun sebuah pondok di bibir sungai, khusus untuk Reny.

Para ibu mengantarkan gelas, piring dan segala perlengkapan dapur. “Semua mereka sediakan untuk saya,” kata Reny.

Baca Juga : Daus Mini Menikah Lagi, Begini Nasib Mantan Istri Pertamanya yang Kini Berubah Drastis!

Di dalam pondok sederhana itu, dengan penerangan sekadarnya, Reny mesti melewati malam pertamanya di tengah hutan. Takut dan waswas.

Untungnya, kecemasan itu lenyap saat ada 15 orang anak datang ke pondok dan menemaninya. “Kecerian anak-anak itu mengusir ketakutan ternyata,” katanya tersenyum.

Hari-hari pertama Reny diisi dengan melakoni gaya hidup ala Suku Anak Dalam. Dia belajar bagaimana sungai sebagai sumber hidup tidak boleh dikotori. Anak Dalam tidak pernah buang air besar di pinggir sungai.

Suasana belajar murid-murid Sekolah Apung dalam area pemukiman Suku Anak Dalam (National Geographic Indonesia/Zulkifli)

Baca Juga : Yuk, Gali Inspirasi dari Kisah Sukses Pancasunu Puspitosari Bangun Batik Pratiwi Krajan!

“Awalnya saja yang sulit, lama-lama saya terbiasa di sini,” katanya lagi.

Pagi hari, saat lelaki dan perempuan Suku Anak Dalam memulai rutinas, Reny akan mengumpulkan anak-anak di rumah Jauhari, pimpinan atau Tumenggung secara adat.

Sebetulnya Jauhari tidak pernah dinobatkan sebagai Tumenggung. Namun bagi anggota kelompoknya, posisi itu telah diembannya sejak lama.

Tumenggung berarti pimpinan, orang yang dituakan, didahulukan selangkah. Menariknya, sejak awal kedatangan Reny, Jauhari bersedia menjadikan rumahnya sebagai sekolah.

Baca Juga : Tak Perlu Langsung Resign, Lakukan Hal Ini Jika Bosan dalam Pekerjaan

Namun anak-anak ternyata tidak senang dikurung, mereka lebih suka belajar di alam terbuka. Nah, Reny pun tak hilang akal!

Ia lalu membuka kelas di hutan dan di dalam sungai. Reny menggantungkan angka dan huruf di lembaran kertas pada sebatang pohon. Anak-anak akan memanjat pohon itu untuk mengambil setiap huruf yang disebutkan Reny.

Kadang, Reny menancapkan kayu-kayu yang telah ditempeli huruf dan angka di sungai. Anak-anak harus berenang meraih huruf yang dibacakan. Pola mengajar ini terus berkembang sesuai keadaan.

Baca Juga : 4 Fakta Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, Juara FFI 2018!

Reny kadang mengenalkan warna dari beragam corak tumbuhan dan menyebutkan nama setiap hewan yang mereka lihat.

Setiap hari jumlah muridnya makin bertambah.

Jarak rumah yang berjauhan membuat rumah Jauhari sering dijadikan tempat menginap.

Beruntunglah ada Nurseno, lelaki yang mengaku berasal dari Pertamina, yang ditemui Jauhari hampir dua tahun silam.

Seno merupakan salah seorang CSR Officer di JOB Pertamina Talisman Jambi Merang (JOB PTJM), yang banyak menghabiskan waktu bersama Suku Anak Dalam hingga mengenal mereka secara individu.

Mengusung program bertajuk Barisan Selempang Cinta Bumi, JOB PTSM membangun sebuah sistem filterisasi air untuk menyediakan air bersih, berasal dari air Sungai Pejudian.

Baca Juga : Keluarga Lindswell Kwok Tak Hadiri Resepsi Pernikahannya, Pihak Achmad Hulaefi Ungkap Fakta Sebenarnya

Sumber air yang lebih bersih inilah yang menarik keluarga lain untuk membangun rumah lebih berdekatan. Alhasil, anak-anak yang tadinya perlu menginap di rumah Jauhari, kini bisa tinggal bersama orangtua mereka.

Dukungan untuk Reny dan anak-anak Suku Anak Dalam belum berhenti sampai di situ.

Untuk mendukung kegiatan belajar mengajar, JOB PTJM membuatkan Sekolah Apung, sebuah bangunan sederhana berukuruan kira-kira 4 x 2 meter yang diapungkan menggunakan sejumlah drum.

Bak sekolah pada umumnya, bangunan itu juga punya atap, setiap sisinya dipagari agar aman. Anak didik yang diajar Reny pun kian bertambah, proses belajar juga lebih menyenangkan.

Beberapa orang murid Sekolah Apung sedang belajar di ruang terbuka bersama Reny dan Putri (National Geographic Indonesia/Zulkifli)

Baca Juga : Tak Cukup Sikat Gigi, Ini Dia Langkah yang Lebih Tepat Merawat Gigi

Mindaryoko, Bussines Support Manager JOB PTJM mengatakan program CSR yang dijalankan memang dirancang untuk menunjang kehidupan Suku Anak Dalam.

Sejak Sekolah Apung ada, kata Mindaryoko, para pekerja di kantornya sering berkunjung ke perkampungan ini, ingin ikut mengajar atau berbuat apa saja yang bisa membantu.

Menurut Reny, selain membuka pikiran Suku Anak Dalam tentang perkembangan dunia, semua pihak juga punya tanggung jawab yang sama untuk membuka diri, melihat Suku Anak Dalam secara setara.

Baca Juga : Gading Marten Menang Piala Citra: Piala Ini Mau Saya Bawa Tidur Dulu!

Baginya anak-anak Suku Anak Dalam memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh dan bermimpi layaknya anak-anak di kota. Tahun depan, enam orang murid Sekolah Apung akan mengikuti ujian paket untuk mengambil ijazah setingkat Sekolah Dasar.

Sayangnya, di tahun depan juga, Reny harus pamit meninggalkan rimba, Sekolah Apung, dan murid-muridnya tercinta. Dia harus sekolah mengejar gelar Master di bidang Pengembang Sosial di University of Melbourne pada Juli 2019.

Putri, relawan yang siap menggantikannya telah sebulan lebih tinggal di rimba. “Pengajar juga harus menambah ilmu,” katanya.

Aktivitas belajar di Sekolah Apung di kawasan binaan Suku Anak Dalam (National Geographic Indonesia/Zulkifli)

Baca Juga : Perempuan yang Sukses Karir Rentan Gagal dalam Jalinan Asmara, Benarkah?

Keduanya tergabung dalam komunitas Sobat Eksplorasi Anak Dalam (SEAD).

Organisasi ini digandeng oleh CSR JOB PTJM untuk menanamkan pendidikan yang didukung oleh fasilitas penghidupan yang layak bagi Suku Anak Dalam.

Bagi Reny tidak ada yang lebih membanggakan selain melihat anak-anak ini bisa memiliki pilihan dalam hidup. “Sekarang mereka semua sudah punya cita-cita. Tugas kita untuk membantu,” ujarnya menahan air mata. (*)