NOVA.id - Standar kecantikan setiap negara di berbagai belahan dunia tentu berbeda-beda.
Hal ini dipengaruhi oleh kepercayaan, kebudayaan, dan bagaimana perspektif masyarakat itu sendiri dalam mendefinisikan kata “cantik”.
Standar cantik yang ditetapkan masyarakat sering kali memberikan tekanan tersendiri bagi perempuan.
Disadari atau tidak, sebagian besar perempuan akan berusaha untuk memenuhi standar tersebut.
Di Indonesia, kata cantik yang disematkan pada perempuan sering kali identik dengan kulit putih, proporsi badan yang ideal atau langsing, hidung mancung, dan lain sebagainya.
Standar kecantikan terus berkembang dari waktu ke waktu diikuti berbagai upaya untuk mencapainya.
Baca Juga: Kembali Terjadi, Steve Harvey Salah Umumkan Pemenang Kostum Miss Universe 2019
Mulai dari plastic surgery, filler, sulam alis, dan berbagai treatment kecantikan lainnya demi memenuhi keinginan perempuan untuk mencapai standar tertentu.
Penampilan fisik masih dinilai sangat krusial oleh sebagian kalangan.
Karena hal tersebut masih dipercaya sebagai salah satu cara untuk melakukan self branding dan menentukan value kita di masyarakat.
Namun saat ini, bagi sebagian perempuan, penampilan merupakan cara berkomunikasi dengan diri sendiri maupun orang lain.
Sebuah media untuk mengekspresikan jati diri. Tidak lagi terjebak pada tren.
Hari ini, seorang perempuan asal Afrika Selatan berhasil mengubah persepsi banyak kalangan mengenai standar kecantikan.
Zozibini Tunzi, berhasil mengalahkan 89 kontestan dari berbagai negara dan memenangkan gelar Miss Universe 2019.
Hal ini membuktikan bahwa warna kulit seharusnya tidak menjadi suatu halangan untuk bisa meraih gelar juara dalam ajang bergengsi manapun.
Tunzi mengatakan bahwa kemenangannya merupakan bagian dari kemenangan perempuan Afrika Selatan secara keseluruhan.
Tunzi merupakan seorang aktivis yang cukup aktif bersuara dalam berbagai bidang kemanusiaan.
Salah satunya seperti menolak kekerasan pada perempuan.
Baca Juga: LazTalk with Miss Universe 2018: Perempuan Indonesia Jangan Takut Bermimpi!
Ia juga dengan lantang menentang sistem patriarki, di mana perempuan hanya bisa diam, tanpa melakukan sesuatu.
Tunzi menjadi inspirasi bagi banyak perempuan untuk bersikap berani dan percaya diri.
Ia memotivasi perempuan di seluruh dunia dengan kata-katanya untuk mengekspresikan diri sendiri dengan penuh percaya diri dan tanpa rasa takut.
Baca Juga: Jadi Miss Universe 2018, Catriona Gray Ungkap Satu Fakta Mengharukan
Dalam salah satu wawancaranya dengan E! News, Tunzi mengungkapkan pendapatnya mengenai standar kecantikan.
“Saya tumbuh di dunia di mana seorang perempuan yang mirip saya, dengan jenis kulit dan rambut seperti saya tidak pernah dianggap cantik. Dan saya pikir itu harus dihentikan. Saya ingin anak-anak melihat diri mereka pada saya.”
Tunzi menegaskan bahwa cantik tidak selalu soal fisik.
Gelar wanita cantik tidak hanya disematkan untuk mereka yang berkulit putih, berbadan langsing, hidung mancung, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Sabet Gelar Miss Universe 2018, Simak 4 Fakta Menarik Catriona Gray
Semua perempuan cantik, dengan cara dan penampilannya masing-masing.
Sering kali, standar kecantikan di masyarakat digunakan sebagai untuk melakukan bullying terhadap perempuan yang tidak sesuai dengannya.
Ini bisa menjadi masalah yang serius.
Baca Juga: Miss Filipina Menangkan Miss Universe 2018, Ini Posisi Perwakilan Indonesia
Mematahkan standar kecantikan di masyarakat tentu bukan hal mudah.
Namun, kita dapat memulainya dengan menanamkan nilai-nilai positif pada diri sendiri dan sekitar, seperti tidak menilai segala sesuatu dari fisik, menjadi pribadi yang cerdas, memiliki semangat untuk meraih mimpi, dan berguna bagi orang lain.
Jika kita tidak bisa mengubah persepsi masyarakat, setidaknya kita tidak berkontribusi dalam hal tersebut dengan memberikan warna baru.
You have to embrace yourself, embrace your age. No matter what color skin you have, what color eyes you have, what color hair you have, anyone could make themself look beautiful. Let's break the beauty standard! (*)
--
Artikel ini dibuat oleh Amelia Sri Melati, Mahasiswa Program Pendidikan Vokasi Jurusan Hubungan Masyarakat Universitas Indonesia, dan diedit secukupnya oleh NOVA.