NOVA.id - Demi sang buah hati, seorang ibu rumah tangga bernama Fifi relakan kariernya. Bagaimana perjuangannya?
Punya anak berkebutuhan khusus (ABK) bukan hal mudah. Tak sedikit, keluarga yang awalnya sulit menerima kenyataan, bahwa kondisi buah hatinya tak seperti anak-anak lain pada umumnya.
Itulah yang pernah dirasakan Fifi Ferita, ketika harus menerima kondisi anak keduanya yang down syndrome.
“Jadi orangtua ABK enggak gampang. Apalagi dulu, kalau sudah ngumpul dengan dengan teman-teman. Ada perasaan minder, kenapa yah anak saya ABK,” ujar Fifi kepada NOVA dengan suara pelan.
Baca Juga: Begini 5 Cara Ajak Anak Berkebutuhan Khusus Olahraga
Fifi juga merasa asing ketika berkumpul dengan keluarga besar, karena merasa tak semua orang bisa menerima kondisi anaknya.
“Merasa asing, karena belum tentu kondisi anak kita diterima, meskipun saudara sendiri,” cerita Fifi.
Akhirnya, agar lebih fokus mengurus buah hatinya yang saat itu masih berusia 4 tahun, Fifi memutuskan berhenti bekerja.
Dia memilih pensiun dini, setelah 15 tahun berkarier di salah satu perusahan operator seluler di Bandung.
Baca Juga: Ini 3 Olahraga yang Disarankan untuk Anak Berkebutuhan Khusus, Apa Saja?
Sekolah Terapi ABK
Rupanya tak cuma ingin mengasuh sendiri anaknya yang ABK. Usai pensiun dini pada 2014, bersama Risanti Meirani, salah seorang kerabatnya, dia mendirikan Rumah Hasanah.
Fifi dipercaya mengelola sekolah dan tempat terapi ABK berbiaya terjangkau, bahkan gratis. Disesuaikan dengan kemampuan orangtua.
Perempuan berusia 54 tahun ini tahu betul biaya yang dikeluarkan untuk ABK tidaklah murah. Apalagi tak ditanggung BPJS.
Baca Juga: Kenali 6 Ciri Anak Berkebutuhan Khusus Serta Penanganan yang Tepat
Makanya dia ingin Rumah Hasanah bisa membantu orangtua ABK yang kesulitan dana untuk terapi anaknya.
Fifi bilang, “Sekali bawa anak terapi itu minimal Rp100.000.” Selain itu, Fifi juga merasa prihatin, karena banyak orangtua ABK juga mengaku kesulitan mencari sekolah.
Kata Fifi, tak semua ABK diterima di sekolah luar biasa (SLB). Perempuan lulusan Administrasi Perusahaan di Unpad mengaku pernah ditolak salah satu SLB saat ingin memasukkan anaknya, padahal sebelumnya sudah sempat dinyatakan lolos.
Baca Juga: Begini Cara Atasi Anak Susah Tidur Jelang Tahun Ajaran Baru 2021
“Misalnya untuk anak autis, kadang dilihat dulu autisnya berat atau tidak. Sekolah khusus bukan SLB banyak sih, masalahnya biayanya mahal. Sekitar Rp1 juta sampai Rp2 juta, untuk (golongan masyarakat)
menengah ke bawah kan sulit,” tukas perempuan kelahiran Bandung, 20 Desember 1967 ini.
Makanya, Fifi berharap Rumah Hasanah bisa jadi solusi bagi mereka yang kesulitan menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus.
Baca Juga: 7 Tanda Anak Autisme yang Perlu Diwaspadai, Salah Satunya tentang Ekspresi Wajah
Jemput Bola
Tekad Fifi memudahkan ABK rupanya tak main-main. Tak jarang dia sampai menjemput bola agar “anak spesial” bisa bersekolah.
Seperti yang dilakukan Fifi saat bertemu Arifki (13), seorang tunagrahita. Seperti dikutip dari Kompas.com, ketika itu dia dipertemukan dengan bibi Arifki di daerah Cikutra, yang ingin keponakannya itu sekolah.
Nasib Arifki memang malang. Sejak kecil sudah ditinggal ayahnya entah ke mana, sedangkan ibunya yang tak kuat ditinggal suami malah mengalami gangguan jiwa, hingga akhirnya dia diasuh bibinya.
Baca Juga: Ibu Ini Tega Tinggalkan Anaknya yang Autis di Tempat Makan dengan Sepucuk Surat
Arifki pun sempat sekolah di Rumah Hasanah, namun berhenti pada 2017 karena bibinya itu stroke. Sempat juga masuk sekolah negeri, namun tak lama berhenti.
Fifi akhirnya memutuskan mengantar jemput Arifki untuk sekolah, baik itu menggunakan ojek online atau oleh guru yang ditugaskan.
Kata Fifi, “Arifki itu tuna grahita. IQ-nya rendah, dia tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah umum. Lalu keluarganya ingin Arifki kembali sekolah di Rumah Hasanah.”
Kini, di bawah pengelolaan Fifi, Rumah Hasanah memiliki 9 tenaga pengajar dan 30 siswa. Mereka adalah penyandang autis, down syndrome, carebral palsy ringan, dan tunagrahita.
Baca Juga: Ini Dia Alasan Kenapa Anak dengan Autisme Cenderung Lebih Cerdas
Dalam satu hari anak belajar selama dua jam, satu anak didampingi satu guru. Pembagian kelas diatur berdasarkan kondisi individual anak.
Meski sempat minder punya anak down syndrome, kini Fifi mengaku bahagia, karena si buah hati mengantarkannya bertemu keluarga baru di Rumah Hasanah.
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)