Pandemi Covid-19 yang Berlangsung Lama Berisiko Timbulkan Kelelahan Mental

By Sheila Respati, Rabu, 11 Agustus 2021 | 12:47 WIB
Dialog Produktif Semangat Selasa digelar Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN), Selasa (10/8/2021). (Tangkapan layar Youtube FMB9ID_IKP)

NOVA.idPandemi Covid-19 telah berlangsung selama lebih dari satu tahun di Indonesia. Tidak hanya memberi mengancam kesehatan fisik, pandemi juga memberi pengaruh besar terhadap kesehatan mental.

Pada masa pandemi, masyarakat diharuskan beradaptasi dengan situasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan kebiasaan baru seperti protokol kesehatan.

Belum lagi, ditambah mengalirnya disinformasi mengenai Covid-19 yang meresahkan, kabar dari anggota keluarga yang sakit, dan berita duka. Akhirnya, banyak orang mengalami kelelahan mental di masa pandemi.

Menanggapi fenomena tersebut, Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional menggelar Dialog Produktif Semangat Selasa yang disiarkan secara daring melalui Youtube FMB9ID_IKP pada Selasa (10/8/2021).

Baca Juga: Jaga Kesehatan Mental Selama Pandemi dengan Panduan dari Kemenkes Ini

Dialog tersebut menghadirkan psikiater sekaligus influencer dr Erickson Arthur Siahaan, Sp KJ, co-founder Menjadi Manusia Rhaka Ghanisatria, dan Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Covid-19 Sonny Harry B Harmadi.

Dokter Erickson Arthur Siahaan mengatakan, pandemi Covid-19 berlangsung dalam jangka panjang dan seakan tidak berkesudahan. Dampaknya, upaya adaptasi masyarakat terhadap pandemi dapat mencapai titik jenuh.

“Pada masa awal pandemi berlangsung ada reaksi kecemasan dan stres mengenai apa itu Covid-19. Setelah satu setengah tahun, pengetahuan masyarakat sudah terbentuk, tetapi masyarakat dapat jatuh pada kondisi pandemic fatigue,” kata dr Erickson.

Untuk menjaga kesehatan mental, dr Erickson menyarankan setiap orang untuk mulai mengenali diri dan emosi yang tengah dirasakan.

“Dimulai dari diri sendiri sebelum kita berusaha untuk care terhadap orang lain. Kenali dulu karakter diri kita ini siapa? Apakah kita ini seorang yang pencemas, meluap-luap, atau menghindar. Kemudian, kelola stres,” katanya.

Baca Juga: PPKM Darurat Bikin Kena Mental? Tenang, Begini Cara Mengatasinya!

Menurut dr Erickson, proses mengenali diri sendiri menjadi hal yang paling utama karena setiap orang memiliki sumber (trigger) stres masing-masing. Dengan memahami diri sendiri, seseorang dapat mengidentifikasi trigger tersebut dan menyadari setiap emosi yang muncul. Setelah itu, cara mengelola stres dengan yang efektif dan sesuai dapat ditemukan.

“Setiap orang punya sumber stres berbeda-beda. Dengan begitu, masing-masing orang akan punya cara pengelolaan yang juga berbeda-beda,” tambah dr Erickson.

Selain itu, ia juga menyampaikan pentingnya memberi jeda dalam mengonsumsi informasi terkait Covid-19. Ia menyarankan, masyarakat untuk mengonsumsi informasi mengenai Covid-19 pada saat-saat tertentu saja.

Selain itu, mengalokasikan waktu untuk diri sendiri atau “me time” dan menjaga komunikasi dengan teman-teman atau kerabat juga diperlukan.

“Tetap pertahankan sosialisasi dengan orang lain. Pembatatasan kegiatan sosial tidak berarti komunikasi terputus. Bersosialisasi tetap dapat dilakukan tanpa tatap muka langsung. Misalnya dengan memanfaatkan teknologi, yakni melalui panggilan telepon atau menggunakan aplikasi untuk berkomunikasi dengan orang lain,” katanya.

Baca Juga: 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Isolasi Mandiri Menurut Psikolog

Terkait sosialisasi, Rhaka Ghanisatria mengatakan, berkomunikasi dan berbagi cerita dapat mengurangi beban emosi.

Hal itu ia buktikan lewat platform digital Menjadi Manusia yang ia rintis. Platform tersebut menghadirkan media untuk menyalurkan kegelisahan dengan cara berbagi cerita.

Rhaka mengatakan, selama menggawangi platform Menjadi Manusia ia sudah melihat bagaimana berbagi cerita dapat menjadi bentuk tolong-menolong.

“Ketika berbagi cerita, kita melepaskan beban yang kita punya dan bisa menjadi coping mechanism. Namun, cerita kita juga bisa menjadi inspirasi buat orang lain dan menyelamatkan mereka. Orang lain yang membaca cerita tersebut akan merasa terhubung, merasa dikuatkan karena sadar bahwa dia tidak sendirian,” katanya.

Dalam dialog tersebut, Sonny Harry B Harmadi memberikan pendapat terkait dampak pandemi terhadap kesehatan mental. Menurutnya, pandemi memberi dampak yang banyak, mulai dari kesehatan, learning loss, kondisi ekonomi, hingga sosial masyarakat. 

Baca Juga: Komunitas Ruang Tengah, Wadah Berbagi Cerita Tanpa Rasa Khawatir

Oleh sebab itu, pemerintah berkolaborasi dengan Himpunan Psikolog Indonesia untuk membuka layanan bagi anggota masyarakat yang membutuhkan konsultasi. Namun, menurut Sony, dari dalam diri masyarakat juga harus muncul dorongan untuk menghentikan keresahan yang beredar di masyarakat.

 “Upaya menghentikan hoaks yang meresahkan orang lain, membangun empati dan gotong-royong, serta menggemakan narasi dan pesan-pesan positif, juga bermanfaat untuk membangun ketenangan batin masyarakat,” imbuhnya.

Tak hanya itu, supaya pandemi Covid-19 tidak semakin berlarut-larut, diperlukan partisipasi, kolaborasi, dan dukungan seluruh anggota masyarakat.

Menurut Sony, partisipasi masyarakat yang sudah sangat baik selama PPKM level 4 diberlakukan harus diteruskan. Ia mengatakan, PPKM level 4 telah berhasil menurunkan kasus aktif secara signifikan.

Selain itu, bed occupancy rate (BOR) juga turun siginifikan hingga 54 persen. Kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan pun terus meningkat.

“Pemerintah, termasuk Satgas Covid-19 tidak bisa menyelesaikan pandemi sendirian. Kami mengapresiasi anggota masyarakat yang memilih menjadi bagian dari solusi bukan masalah,” ujarnya.