NOVA.id - “Wah, ada ya kehidupan orang seperti itu. Enggak nyangka!”, pikiran dan perasaan itu mungkin yang pertama terlintas saat melihat konten flexing di media sosial.
Reaksi normal ketika melihat flexing kehidupan yang jauh berbeda dan lebih mewah dari apa yang kita jalankan.
Sayangnya, semakin sering kita melihat konten flexing di media sosial, kita bisa saja membombardir diri dengan beragam pertanyaan lainnya yang cenderung membandingkan diri.
Misalnya, “Orang-orang, kok bisa dengan mudahnya meraih pencapaian, punya harta ini dan itu, liburan ke sana dan ke sini. Kok, saya susah?” Atau jadi meragukan diri, “Apa yang selama ini saya lakukan dan kerjakan ini sudah di jalur yang benar atau tidak, ya?”
“Akhirnya merasa bahwa kita seharusnya juga seperti mereka. Pasti ada dorongan untuk kemudian menyamai. Ketika dorongan itu tidak tercapai atau dalam perjalanannya kita merasa kesulitan, mungkin itu bisa menimbulkan perasaan insecure, rendah diri, stres, cemas, dan lainnya,” ujar Sri Wulandari, M.Sc., M.Psi., Psikolog., Psikolog dari PION Clinician ketika ditanya soal reaksi kita terhadap konten flexing.
Kalau sudah begini, apakah masih bisa dibilang normal dan wajar?
Menurut Wulan, konten flexing di media sosial memang sangat bisa berdampak pada mental orang yang mengonsumsi kontennya.
Mengapa bisa berdampak, sebenarnya kembali lagi pada sikap alami dari orang yang memang cenderung ingin tahu bagaimana kehidupan orang lain.
Dengan mengetahui kehidupan orang lain, seseorang jadi tahu di mana posisinya dan melihat apakah ada hal yang perlu ditingkatkan atau tidak.
Baca Juga: 5 Cara Menghalau Flexing, Kejarlah Kebahagiaan di Dunia Nyata
“Secara naluriah kita ingin tahu social positioning dan berusaha untuk tidak berada di yang terendah. Itulah kenapa ketika kita dapat paparan, akhirnya jadi terpengaruh. Entah tergerak untuk semangat atau malah demotivasi,” jelasnya saat diwawancarai NOVA.
Salah satu pengaruh buruknya, ya perasaan perasaan tidak nyaman yang kita labeli dengan nama insecure saat melihat konten flexing tadi.
Hal ini wajar dan bisa dialami oleh semua orang.
Tetapi sebenarnya kapan insecure ini jadi respons wajar dan kapan sudah masuk tanda bahaya?
“Batas wajarnya adalah ketika kemudian fokus hidup kita adalah melihat dan mengurusi kehidupan orang di media sosial, dibanding mengusahakan kehidupan pribadi. Mungkin jadi enggak fokus kerja, pekerjaan rumah atau anak enggak diurus, dan malah lebih banyak melihat media sosial dan sibuk membandingkan diri,” kata psikolog PION Clinician ini.
Nah, jadi insecure sebenarnya wajar saja, tapi kalau sudah tidak bisa fokus menjalani fungsinya sehari-hari dalam kehidupan, inilah yang bahaya.
Jadi ingat, ya, insecure saat liat konten flexing di media sosial ya wajar saja, asal jangan sampai membuat kita demotivasi dan sibuk memperhatikan gaya hidup orang lain.
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA, setiap Kamis siang.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)