Catatan Tahunan Komnas Perempuan juga mencatatkan adanya 93 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di tempat kerja yang dilaporkan ke berbagai lembaga layanan dan 859 kasus terkait Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
Pada kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan, sebagian besar adalah kasus terkait kekerasan seksual dan terkait kesulitan mengakses hak kesehatan reproduksi dan maternitas perempuan pekerja.
Pengalaman pada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan itu dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik perempuan pekerja sehingga menghalanginya untuk bekerja secara optimal atau bahkan menyebabkannya kehilangan pekerjaan.
“Pembahasan dan pengesahan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga juga penting menjadi prioritas DPR dan Pemerintah pada sidang berikutnya sebagai langkah sungguh-sungguh untuk meneguhkan K3,” jelas Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan.
Saat ini belum ada payung hukum yang dapat menjangkau sektor pekerja rumah tangga yang mayoritasnya adalah perempuan.
UU Ketenagakerjaan tidak memuat sektor informal, sementara UU Penghapusan Kekerasan di Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) hanya mencakup sebagian pengalaman pekerja rumah tangga ketika mereka tinggal satu atap dengan majikannya.
“Kita tidak dapat mengandalkan Perpu Cipta Kerja untuk memberikan pelindungan bagi perempuan pekerja di sektor formal dan apalagi di sektor informal seperti pekerja rumah tangga,” imbuh Andy.
Kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa muatan dari UU Cipta Kerja yang diadopsi di dalam Perpu Cipta Kerja tanpa perbaikan.
Akibatnya, perempuan pekerja justru semakin rentan mengalami eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan.
Sebagaimana diketahui, pada 30 Desember 2022 DPR dan Pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Pengesahan ini mendapatkan kritik karena terkesan terburu-buru dan terkurung pada partisipasi prosedural.
Baca Juga: Rayakan Hari Buruh, Ketahui Pekerjaan Apa Saja yang Disebut Buruh