Menurut Ari Pratiwi, S.Psi., M.Psi., seorang anak umumnya mulai membantah orangtua saat berusia 3 tahun. "Pada usia tersebut, anak mulai mengembangkan inisiatif dari dirinya dan menyadari bahwa ia ternyata memiliki keinginan yang mungkin berbeda. Akan tetapi, alasan membantah pada anak yang lebih besar akan lebih kompleks dan berbeda dengan balita."
Lalu, adakah penjelasan secara psikologis, bila anak mulai membantah orangtua saat anak berusia di bawah 3 tahun?
Lulusan Universitas Brawijaya, Malang ini menuturkan bahwa terdapat kemungkinan anak sedang mencari perhatian orangtua. Namun, bisa juga karena anak mulai memiliki rasa ingin tahu sehingga mulai mengeksplor hal-hal baru.
"Kalau, toh, kemudian dilarang, dia mempelajari sesuatu yang baru, yaitu emosi orangtuanya. Hal yang kemudian muncul dalam pikirannya adalah, 'Kenapa kalau aku main barang ini, alis mama bisa terangkat? Kok, mata mama melotot?' Nah, karena menarik untuk anak, ya diulang lagi."
Selain itu, ia mengungkapkan, hindari kata "Jangan" saat memarahi anak. Nada keras dan kata seperti, "Jangan." kerap diucapkan orangtua untuk mengingatkan anak.
Sayangnya, anak umumnya malah semakin tertantang melakukan larangan tersebut. Dalam situasi ketika anak membantah orangtuanya, orangtua cenderung melarang anak dengan nada keras. Ketika orangtua melakukan hal tersebut, anak malah semakin "hobi" melakukan hal yang dilarang. Mengapa hal ini bisa terjadi?
"Nada keras dan 'jangan' sebenarnya tergantung masing-masing anak. Ada yang langsung menurut, ada yang justru melakukan lagi. Menurut para ahli, kata 'jangan' tidak diproses dalam otak, sehingga yang diproses oleh anak justru kata di belakangnya," jelas Psikolog Klinis Anak yang berpraktik di Poliklinik RSAB Muhammadiyah, Malang ini.
Contohnya, saat orangtua berkata, "Jangan naik meja." Kata-kata yang diproses anak adalah "naik meja".
Ada pula alasan lain untuk hindari kata "Jangan" saat memarahi anak. Ahli lainnya, lanjut Ari, mengatakan bahwa kata "jangan" mengandung hal yang tidak menyenangkan. Padahal, anak masih ingin bersenang-senang, sehingga kata "jangan" menjadi tidak dilakukan. Begitu pula melarang anak dengan nada keras.
"Nada keras dapat menimbulkan dampak marah, sedih, atau masalah emosi pada anak. Pada anak-anak yang memiliki emosi lebih tinggi atau negatif, nada keras akan memancing emosi mereka sehingga membuat mereka semakin melakukan larangan tersebut."
Di sisi lain, kata "jangan" juga tidak dimengerti anak karena tidak memiliki pilihan atau alternatif. Ari pun mencontohkan saat orangtua melarang anak bermain air. Pada anak yang lebih kecil, anak akan bingung dan berpikir, "Kalau tidak main air, aku main apa, dong?" Tidak adanya pilihan tersebut mengakibatkan anak akan bermain air kembali.