Deden Siswanto Ingin Budayakan 'Sarong' untuk Anak Muda

By nova.id, Rabu, 17 September 2014 | 07:14 WIB
Deden Siswanto Ingin Budayakan Sarong untuk Anak Muda (nova.id)

Deden Siswanto Ingin Budayakan Sarong untuk Anak Muda (nova.id)

"Deden Siswanto ingin populerkan sarong kembali (foto: NOVA/Laili Damayanti) "

TabloidNova.com - Jika sarung sudah jamak dikenakan para ibu dan wanita muda untuk tampilan tradisional, Ketua Bidang Riset APPMI Pusat, Deden Siswanto, kini giat mempopulerkan 'sarong' (sebutan lain sarung) untuk para pria. Bukan hanya pria dewasa namun juga anak-anak muda.

"Sebenarnya sudah beberapa tahun lalu kami kampanyekan sarong. Orang-orang sudah aware dengan sarong ini. Jadi, sekarang pria juga bisa mengenakan sarong, baik sebagai pakaian tradisional juga kasual," ujarnya ketika ditemui tabloidNova.com pada sebuah kesempatan pergelaran busana di Bandung.

Tak sekadar merancang busana ready to wear dengan sentuhan sarong, Deden juga mengampanyekan mengenakan sarong dimanapun pria berkesempatan menggunakan. Bukan hanya di acara khusus, namun kasual juga. Deden pun tak canggung mengenakan sarong walau sekedar pergi ke bandara. Tak lelah, Deden juga kerap melakukan rilis dan edukasi penggunaan sarong kemana-mana.

Begitu pula, Deden kerap mem-foto sarung pria khas Indonesia ini. "Ini kan seperti pria Skotlandia menggunakan skirt. Jadi, tak canggung kok untuk pria," ujarnya.

Masih menurut Deden, penggunaan sarong pada pria memang tak sama seperti wanita. Sarung dikenakan dengan pola siluet H maupun crop sarong. "Tapi semaunya juga bisa sih. Dan, sekarang juga banyak sarung yang ready to wear," ujarnya memberi gambaran.

Bahan sarong yang dapat dikenakan pria pun beraneka ragam, mulai dari katun, linen, tenun, batik dan lain-lain. Namun Deden tak menyarankan pria mengenakan sarong berbahan sutra karena rentan kusut dan kurang sesuai dengan aktivitas pria yang lebih banyak.

Diakuinya, masih banyak orang yang menganggap aksinya nyeleneh. Beberapa bahkan mencibir dirinya akan pergi kenduri atau menghadiri sunatan. "Kami, sih, tidak jadi beban. Rasa beda itu harus jadi biasa," tekadnya.

Laili Damayanti