Saya terlahir dari keluarga yang penuh kedisiplinan. Ayah saya, Kasbullah, adalah pensiunan pejabat eselon satu yang bekerja di Irjen Perdagangan. Ibu saya, Noneng, juga seorang pensiunan PNS eselon dua yang bekerja di Departemen Keuangan. Tapi saya memang memilih tak mengikuti jejak mereka.
Saya anak kedua dari enam bersaudara. Sejak muda saya terbilang aktif. Lulus dari Akademi Sekretaris Manajemen Indonesia (ASMI) saya merintis karier sebagai sekretaris di salah satu perusahaan minyak dan gas yaitu PT Udemco Otis.
Di sana, saya bertemu Pieters Simanjuntak yang kini menjadi suami saya. Kami lalu menikah pada 5 April 1992. Setelah menikah, saya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Namun saya ingin tetap terlibat dalam bisnis bersama suami yaitu di bidang properti dan konstruksi telekomunikasi.
Terbiasa memiliki aktivitas yang cukup tinggi, saya memang tak betah hanya berdiam diri. Saya terus belajar bisnis pada suami. Seiring berjalannya waktu, kehidupan terasa semakin berwarna dengan kehadiran tiga putra kami, Patrick, Jonathan Ichsan, dan Kevin.
Mulai Dari Nol
Sepuluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga tentu tak hanya kebahagian yang saya cicipi. Cobaan datang pada keluarga kami tatkala suami saya divonis mengidap kanker darah yang cukup langka yaitu Multiple Myeloma. Mendengar pasangan hidup divonis demikian, hati siapa yang tak sedih? Tapi, saya harus menguatkan diri untuk mendampingi Pieters. Saya ikut berangkat ke Negeri Kangguru untuk mendampinginya berobat intensif beberapa bulan. Saya juga menemaninya melewati masa-masa kritis hingga pemulihan. Pengalaman ini pun menguatkan kami sekeluarga agar selalu ingat untuk bersyukur pada Tuhan.
Peristiwa tersebut memang tak mudah untuk saya jalani. Kuncinya saya terus memanjatkan doa kepada Tuhan demi kesembuhan Pieters. Tak ada hal lain yang saya inginkan selain melihatnya bisa kembali berkumpul bersama kami semua di rumah. Untungnya banyak juga yang mendoakan suami saya. Selain sanak saudara dan teman-teman, doa juga datang dari kalangan santri maupun gereja. Sejak kejadian itu, hati saya tergerak untuk bisa bermanfaat lebih bagi orang lain.
Jika nanti Pieters sembuh seperti sedia kala, saya ingin banyak membantu orang. Tapi dengan cara apa, ya? Setelah pengobatan Pieters rampung di Australia, kami lalu kembali ke Tanah Air. Dalam hati barulah saya terpikir untuk mendirikan klinik kesehatan agar bisa menolong sesama. Saya berdoa agar Allah merestui niat saya dan suami mengizinkan mimpi ini terwujud.
Tepat di tahun 2003, doa saya terjawab. Bukan cuma izin, suami juga memberikan saya modal membeli lahan kosong seluas 2 hektar untuk mendirikan Ichsan Medical Center, klinik umum yang siap melayani kebutuhan masyarakat. Nama Ichsan sendiri merupakan kepanjangan dari Ichtiar Kasih Anak Nusantara dan menjadi doa agar terus dapat memberikan kasih sayang kepada sesama. Kliniknya sendiri terletak di atas tanah 5.000 m2 di jalan Jombang Raya, Bintaro, Tangerang Selatan. Saat itu meski awam, saya merasa percaya diri. Terlebih klinik ini berlokasi di dekat rumah. Jadi sambil mengontrol klinik, saya tetap bisa berperan maksimal sebagai ibu rumah tangga.
Ditilik dari sisi bisnis, saya memang menjalankan jasa layanan kesehatan ini dari nol. Tapi, saya tertantang untuk membesarkannya. Setahun pertama perkembangan klinik membuat saya semakin optimis.
Tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, dan staf administrasi tentu berperan besar. Saya juga sangat fleksibel. Karena di awal niatnya untuk menolong sesama yang membutuhkan, saya membolehkan pasien tak mampu mencicil biaya pengobatan. Ada pula mereka yang saya bebaskan biaya pengobatannya. Tapi saya juga mencermati betapa kesehatan untuk ibu-ibu hamil perlu diperhatikan.
KOMENTAR