Ani Yuliani Simanjuntak: Berbagi lewat Layanan Kesehatan (1)

By nova.id, Selasa, 26 Agustus 2014 | 10:38 WIB
Ani Yuliani Simanjuntak Berbagi lewat Layanan Kesehatan 1 (nova.id)

Ani Yuliani Simanjuntak Berbagi lewat Layanan Kesehatan 1 (nova.id)
Ani Yuliani Simanjuntak Berbagi lewat Layanan Kesehatan 1 (nova.id)

""Ketiga putraku memilih jalurnya masing-masing, di bidang bisnis, teknik, dan hukum. Mereka enggak dipaksa harus terjun membantu bisnis orang tuanya," ujar Ani. "

Saya terlahir dari keluarga yang penuh kedisiplinan. Ayah saya, Kasbullah, adalah pensiunan pejabat eselon satu yang bekerja di Irjen Perdagangan. Ibu saya, Noneng, juga seorang pensiunan PNS eselon dua yang bekerja di Departemen Keuangan. Tapi saya memang memilih tak mengikuti jejak mereka.

Saya anak kedua dari enam bersaudara. Sejak muda saya terbilang aktif. Lulus dari Akademi Sekretaris Manajemen Indonesia (ASMI) saya merintis karier sebagai sekretaris di salah satu perusahaan minyak dan gas yaitu PT Udemco Otis.

Di sana, saya bertemu Pieters Simanjuntak yang kini menjadi suami saya. Kami lalu menikah pada 5 April 1992. Setelah menikah, saya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Namun saya ingin tetap terlibat dalam bisnis bersama suami yaitu di bidang properti dan konstruksi telekomunikasi.

Terbiasa memiliki aktivitas yang cukup tinggi, saya memang tak betah hanya berdiam diri. Saya terus belajar bisnis pada suami. Seiring berjalannya waktu, kehidupan terasa semakin berwarna dengan kehadiran tiga putra kami, Patrick, Jonathan Ichsan, dan Kevin.

Mulai Dari NolSepuluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga tentu tak hanya kebahagian yang saya cicipi. Cobaan datang pada keluarga kami tatkala suami saya divonis mengidap kanker darah yang cukup langka yaitu Multiple Myeloma. Mendengar pasangan hidup divonis demikian, hati siapa yang tak sedih? Tapi, saya harus menguatkan diri untuk mendampingi Pieters. Saya ikut berangkat ke Negeri Kangguru untuk mendampinginya berobat intensif beberapa bulan. Saya juga menemaninya melewati masa-masa kritis hingga pemulihan. Pengalaman ini pun menguatkan kami sekeluarga agar selalu ingat untuk bersyukur pada Tuhan.

Peristiwa tersebut memang tak mudah untuk saya jalani. Kuncinya saya terus memanjatkan doa kepada Tuhan demi kesembuhan Pieters. Tak ada hal lain yang saya inginkan selain melihatnya bisa kembali berkumpul bersama kami semua di rumah. Untungnya banyak juga yang mendoakan suami saya. Selain sanak saudara dan teman-teman, doa juga datang dari kalangan santri maupun gereja. Sejak kejadian itu, hati saya tergerak untuk bisa bermanfaat lebih bagi orang lain.

Jika nanti Pieters sembuh seperti sedia kala, saya ingin banyak membantu orang. Tapi dengan cara apa, ya? Setelah pengobatan Pieters rampung di Australia, kami lalu kembali ke Tanah Air. Dalam hati barulah saya terpikir untuk mendirikan klinik kesehatan agar bisa menolong sesama. Saya berdoa agar Allah merestui niat saya dan suami mengizinkan mimpi ini terwujud.

Tepat di tahun 2003, doa saya terjawab. Bukan cuma izin, suami juga memberikan saya modal membeli lahan kosong seluas 2 hektar untuk mendirikan Ichsan Medical Center, klinik umum yang siap melayani kebutuhan masyarakat. Nama Ichsan sendiri merupakan kepanjangan dari Ichtiar Kasih Anak Nusantara dan menjadi doa agar terus dapat memberikan kasih sayang kepada sesama. Kliniknya sendiri terletak di atas tanah 5.000 m2 di jalan Jombang Raya, Bintaro, Tangerang Selatan. Saat itu meski awam, saya merasa percaya diri. Terlebih klinik ini berlokasi di dekat rumah. Jadi sambil mengontrol klinik, saya tetap bisa berperan maksimal sebagai ibu rumah tangga.

Ditilik dari sisi bisnis, saya memang menjalankan jasa layanan kesehatan ini dari nol. Tapi, saya tertantang untuk membesarkannya. Setahun pertama perkembangan klinik membuat saya semakin optimis.

Tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, dan staf administrasi tentu berperan besar. Saya juga sangat fleksibel. Karena di awal niatnya untuk menolong sesama yang membutuhkan, saya membolehkan pasien tak mampu mencicil biaya pengobatan. Ada pula mereka yang saya bebaskan biaya pengobatannya. Tapi saya juga mencermati betapa kesehatan untuk ibu-ibu hamil perlu diperhatikan.

Pada 2004 saya membidik strategi baru agar layanan kesehatan ini juga bisa berguna untuk menekan angka kematian ibu melahirkan. Saya mengubah klinik umum menjadi klinik bersalin yang memberi layanan penuh bagi calon dan para ibu.

Buka SekolahSebenarnya jiwa bisnis yang saya miliki bukan warisan dari orangtua. Tapi kalau diingat-ingat dahulu nenek saya adalah penjual daging. Mungkin saya yang menuruni kemampuannya.

Sejak muda saya juga terbiasa menganalisa dan cepat membaca peluang yang ada. Dulu ketika masih magang di salah satu BUMN selama tiga bulan saya selalu dapat jatah makan siang. Di dalam kotak makanan, juga ada sebuah pisang. Saya sempat berpikir kala itu, berapa ya, keuntungan penyuplai pisang setiap harinya? Karyawan di perusahaan saya magang, kan, jumlahnya ribuan. Selain itu, darimana penyuplai dapat pisang sebanyak itu setiap hari? Berapa kalkulasi penyediaan katering untuk para karyawan. Hal-hal seperti itu "mengganggu" benak saya yang kala itu hanya magang di bagian administrasi.

Tak memiliki latar belakang di bidang kesehatan dan bisnis sebelumnya membuat saya harus mau belajar lebih banyak. Soal ini saya menjadikan suami sebagai mentor utama. Tapi saya sadar saya juga harus mengembangkan diri dan mau mengambil risiko. Jadilah pengalaman dan prinsip learning by doing menjadi pedoman saya dalam mengembangkan klinik.

Banyak cara yang saya lakukan untuk semakin memahami bisnis jasa layanan kesehatan. Selain berdiskusi dengan suami, pakar bisnis dan kesehatan, saya kerap berkumpul dan tukar pikiran dengan teman-teman yang berbisnis serupa. Berbagai buku pun saya lahap sebagai referensi.

Benar saja, berkat kemauan keras dan usaha, dalam tiga tahun selanjutnya klinik bersalin yang saya miliki berkembang pesat. Impian saya semakin membuncah. Saya ingin membesarkan klinik dan mengubahnya menjadi Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) IMC. Di sisi lain saya juga tergelitik untuk mendirikan lembaga yang mampu mencetak tenaga kesehatan yang unggul.

Maka di tahun 2006 saya memberanikan diri membuka Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) IMC dengan Program Studi D3 Kebidanan dan D3 Keperawatan. Tentu banyak tantangan yang timbul. Bukan cuma karena tak berpengalaman mendirikan lembaga pendidikan, dari segi modal juga belum mencukupi. Tapi saya yakin niat baik disertai kemauan dan doa akan berbuah positif.

Dikelilingi ProfesorKala itu, saya harus melewati tes dan penilaian oleh tim penguji dari DIKTI. Banyak teman yang menyemangati saya agar membekali diri dengan beragam keterampilan. Alhamdulillah, saya lulus dengan nilai A dan akhirnya diberikan izin untuk mendirikan STIKES. Tugas yang saya pikul memang bertambah besar.

Saya pun merancang tim yang solid baik untuk RSIA IMC dan STIKES IMC. Dalam perekrutan saya mencari rekan kerja yang bermoral dan takut kepada Tuhan. Tak cuma kemampuan akademis yang saya lihat, tapi juga integritas spiritual. Saya ingin lulusan STIKES tak hanya terampil sebagai tenaga kesehatan. Mereka juga harus sepenuh jiwa melayani dengan hati.

Meski saya dikelilingi staf pengajar yang bergelar master dan profesor, saya tak minder. Toh, saya bisa belajar apa pun dari siapa saja, kan. Dalam perjalanan saya bekerja sama dengan mereka yang baik dan sebaliknya. Saya selalu pasrahkan pada Allah. Prinsip saya daripada saya dapat duit enggak halal lebih baik saya keluarkan mereka yang tidak jujur dalam pekerjaan.

Hal satu ini memang kerap membuat tidur saya tidak nyenyak. Jadi saat mau pecat orang pun saya wajib minta doa dan petunjuk pada Allah. Semesta rupanya mendengar keinginan saya. Boleh percaya atau tidak, rekan kerja yang memiliki niat kurang baik biasanya selalu terseleksi oleh alam.

Saya juga paham bisnis di bidang jasa kesehatan ini tantangannya besar. Ilmu kesehatan dan teknologinya, kan, sangat maju dari waktu ke waktu. Saya harus terus berinovasi agar tak tertinggal. Saya pun belajar dari semua tempat. Misalnya, ketika saya berada di luar negeri. Secara umum saya melihat dan mengamati bagaimana perkembangan dunia kesehatan di sana dan bisakah diterapkan di Indonesia, khususnya di RSIA IMC dan STIKES IMC yang saya miliki.

Di luar itu semua, saya selalu menganggap tujuan utama rumah sakit bukan selalu mencari untung. Tapi sebagai wadah berkontribusi secara sosial. Makanya, saya tak pernah mengutamakan materi diatas segala-galanya. Selain bertanggung jawab untuk karyawan, saya juga harus memberikan teladan bagi ketiga putra saya.

Saya percaya karakter anak adalah cerminan orangtua. Selama saya menggeluti bisnis di bidang jasa layanan kesehatan, saya ajarkan pula pada mereka cinta kasih dan integritas secara intelektual dan spiritual. Mereka pun bisa melihat langsung bagaimana keseharian saya mengelola rumah sakit dan sekolah. Pedoman saya adalah ora et labora, bekerja dan berdoa. (BERSAMBUNG)

 Swita A. Hapsari

(Nomor depan: RSIA IMC milik Ani berhasil mendapat kepercayaan dari masyarakat dan berkembang menjadi RS IMC Bintaro. Tak hanya itu, Program Studi Keperawatan di STIKES IMC juga berkembang menjadi tingkat sarjana. Selain terpilih menjadi Wakil Ketua PMI Tangerang Selatan, Ani juga menjadi pengurus lansia se-Tangerang Selatan. Pengabdiannya untuk menolong sesama seakan tak berbatas. Ia masih punya mimpi untuk melayani para lansia dengan tenaga yang mumpuni.)