Kampung Batik Ciwaringin di Cirebon, Kini Jadi Pilihan Mata Pencaharian

By nova.id, Jumat, 22 Mei 2015 | 12:41 WIB
Kampung Batik Ciwaringin di Cirebon Kini Jadi Pilihan Mata Pencaharian (nova.id)

Proses yang lama karena kain batik harus dicelup dengan pewarna alami secara berulang untuk menghasilkan warna yang pas. Bahkan, untuk menyelesaikan satu lembar kain batik tulis membutuhkan waktu seminggu. "Itupun jika warna yang digunakan tidak banyak dengan motif sederhana," tambah Fathoni.

Jadi, batik Ciwaringin istimewa bukan hanya karena prosesnya butuh waktu lama, tetapi juga motifnya yang unik. Motif batik Ciwaringin mengandung makna yang menjadi pedoman masyarakat blok tersebut. Motif yang banyak dibuat perajin antara lain motif batik pringsedapur, tebu sekeret, sapu jagat dan lain-lain.

Motif batik sapu jagat mengandung makna kebersamaan, motif pecutan bergambar daun panjang berarti pemberi semangat. Motif batik tersebut diharapkan dapat menjadi pegangan bagi penduduk desa dan masyarakat secara umum.

Menurut Fathoni, untuk mengenalkan motif batik Ciwaringin kepada generasi muda para perajin membuka kelas membatik. "Terutama untuk remaja blok Kebon Gedang yang secara rutin dilatih membatik dengan pewarna alami sebab mereka merupakan generasi perajin batik masa mendatang," tegasnya.

Mengembalikan Kejayaan Batik Ciwaringin

Konon, batik Ciwaringin sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Sebagian besar perajin juga sudah menggunakan pewarna alami. Mereka terbiasa memanfaatkan batang pohon yang ada di sekitar tempat tinggal lalu mengeringkannya, dan meramunya sehingga menghasilkan warna-warna tertentu.

Namun sejak pewarna kimia diperkenalkan kepada perajin, kebiasan membatik dengan pewarna alami ditinggalkan. Dengan alasan penggunaan pewarna kimia lebih praktis, cepat, sedangkan pewarna alami membutuhkan waktu yang lama untuk memprosesnya.

Tetapi sejak 2009, saat UNESCO menetapkan batik sebagai mahakarya warisan budaya milik Indonesia, terjadilah perubahan dalam pengerjaan batik. Pengakuan internasional ini membuat batik semakin dikenal masyarakat dunia. Hal ini membawa dampak besar bagi pelaku usaha batik. Kebutuhan pasar dunia akan batik pun meningkat.

Namun mereka menginginkan batik yang menarik dengan proses alami di antaranya dengan penggunaan pewarna yang bersumber dari alam. Mereka beranggapan bahwa batik dengan pewarna kimiawi bukan saja membahayakan tubuh tetapi lingkungan.

Untuk itulah, di tahun 2009 sekitar 40 orang perajin diikutsertakan dalam pelatihan yang didukung oleh Kamar Dagang Indonesia dan Jerman. "Kami diajarkan memanfaatkan kulit jengkol menjadi pewarna," ujar Suja'i, pengurus Koperasi Batik Tulis Ciwaringin, Anugerah. Menurutnya, banyak bahan alami yang jika diolah dengan baik bisa menghasilkan warna menarik.

Jadi Pilihan

Dilihat dari sisi ekonomis, pewarna batik alami lebih murah, tinggal memanfaatkan tanaman yang ada di sekitar rumah penduduk. Penggunaannya pun bisa berulang. Artinya jika pewarna kimia hanya satu kali pakai, pewarna alami dapat dipakai berkali-kali tanpa merusak warna yang dihasilkan sebelumnya.