Ratna Dumila Rindu Suara AlyaAlya anakku... Betapa aku merindukanmu melebihi apa pun di dunia ini. Merindukan kita bisa bertatap mata lama dan tertawa. Merindukan kau menjawab apa perkataanku meskipun hanya satu ucap kata saja, satu ucap saja Al. Merindukan kita berbagi cerita apa pun, dan aku menjawab apa pun yang kau tanyakan. Apa pun anakku...
Sebait tulisan ini diambil dari blog pribadi Ratna Dumila (30). Judulnya adalah "Surat untuk Alya". Jika ada yang benar-benar dirindukan oleh news anchor ini, adalah kecerewetan khas anak-anak dari Rameyza Alya Hakim (5), putri semata wayangnya yang diidentifikasi sebagai penyandang autisme. Pasalnya, hingga kini Alya belum lancar berkomunikasi. "Pernah tercetus kata 'Mama'. Aku sudah senang sekali. Saat aku minta dia mengulang, Alya kembali diam," kisah Ratna.
Meski belum divonis sebagai penyandang autis non-verbal, Alya memang menghabiskan sebagian besar hidupnya tanpa kata-kata. Ia gemar bermain dan tertawa, namun seringnya, ketika Alya membuka mulutnya yang keluar hanya suara gumaman tak jelas.
Namun, layaknya hubungan spesial antara ibu dan anak manapun, Ratna dan Alya punya cara mereka sendiri untuk saling berkomunikasi. "Misalnya saat siang hari dan cuaca panas, aku tiduran di kursi depan. Alya tiba-tiba datang dan ikut tiduran di dadaku, lalu kami tertawa-tawa bersama. Buatku, itu saja sudah cukup membahagiakan," ujar presenter berita Kompas TV ini.
Kisah Ratna membesarkan anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti Alya bukanlah kisah yang penuh cerita bahagia. "Dua tahun pertama setelah Alya divonis autis, sedikit-sedikit aku menangis."
Pernah suatu kali saat sedang makan seafood di sebuah restoran, sebut Ratna, ia melihat seorang ibu dengan anak perempuan seusia Alya. Si anak merengek minta kepiting pesanannya cepat datang. Oleh ibunya, kisah Ratna lagi, "Dia malah disuruh diam dan jangan cerewet. Aku seketika menangis. Aku begitu merindukan anakku bisa ngomong. Ini, kok, anaknya ngomong malah disuruh diam."
Cukup lama Ratna terpuruk. Tapi ia kemudian tersadar, terus membanding-bandingkan Alya dengan anak-anak lain yang sebaya membuatnya tidak bisa maju. "Akhirnya aku stop membanding-bandingkan. Inilah anakku dan harus aku terima apa adanya. Suatu saat nanti Alya pasti bisa berkomunikasi denganku. Tapi kapan dan bagaimana, ya, di waktunya Alya sendiri," ujarnya tegar.
Biaya Tak MurahKetika hasil observasi dokter menyatakan Alya penderita autis dengan spektrum rendah-sedang (PDD-NOS), Ratna tak langsung syok. Butuh waktu agak lama baginya mencerna apa yang menimpa putrinya dan bagaimana Alya akan menjalani hari-hari di masa depan. Satu demi satu, Ratna pun mencoret mimpi-mimpi yang ditulisnya saat mengandung Alya.
"Dulu aku membayangkan anakku akan ikut les balet dan les ini-itu. Setelah Alya diketahui autis, mimpi-mimpi itu harus dicoret satu per satu. Dipaksa melepaskan mimpi itu, kan, sesuatu yang menyakitkan," tutur Ratna.
Ternyata tanpa disadarinya, Alya menunjukkan tanda-tanda anak autis sejak dini. Misalnya, Alya diam saja ketika sepedanya direbut oleh teman sepermainannya. Saat teman-temannya main ke rumah, Alya memang tampak senang. Tapi sejenak kemudian ia akan menuju ke kamar dan mendekap bantal kesayangannya di ujung ruangan. "Atau Alya tidak terlihat takut saat main dilempar tinggi-tinggi dalam permainan trampolin," kisah Ratna.
Belakangan, psikolog anak yang menangani Alya menerangkan bahwa anak autis tak mampu bersosialisasi dan tak mengerti risiko. Kedua hal ini ditunjukkan oleh Alya.
Berbagai terapi khusus pun lantas musti ditempuh Alya. Sejak umurnya 2,5 tahun Alya diikutkan berbagai terapi. Di antaranya adalah terapi okupasi untuk belajar menulis, terapi wicara, dan terapi sensor integrasi yang melatih fungsi motorik. Kesemuanya ini, sebut Ratna, tidak murah. "Sebulan bisa Rp 2 -5 juta untuk biaya sekolah dan terapi Alya. Ini belum ditambah dengan makanan khusus buat Alya."
Penderita autisme memang harus menjalani diet khusus agar tak jadi hiperaktif. "Alya tidak makan telur, susu, gula, dan tepung terigu. Sebulan sekali, saya beli makanan khusus untuk anak autis dari produsen di Yogyakarta."
Jika Alya kecolongan salah satu dari bahan tersebut, "Bisa-bisa berhari-hari dia hiperaktif. Kalau sudah begitu, terapi apa pun tidak akan bisa masuk karena dia mengamuk," tukas Ratna yang sudah kenyang melihat Alya memukul-mukul kepala, menggigit meja, hingga menggigit tangannya sendiri sampai berdarah saat mengamuk.
Untungnya, setelah menjalani terapi dengan rutin, Alya banyak mengalami kemajuan. Di usia 5 tahun, Alya kini sudah masuk TK bersama anak-anak normal. "Perjalanan menemukan TK yang pas untuk Alya pun tidak mudah. Ada sekolah yang bagus tapi sangat mahal, ada pula sekolah yang ketika didatangi gurunya melihat Alya dengan pandangan aneh. Yang seperti itu aku coret dari daftar. Aku mencoba realistis saja," tuturnya.
Ratna kemudian menemukan sekolah inklusi yang pas untuk Alya. "Kepala sekolahnya bilang, seperti apa pun perkembangan Alya, dia pasti naik kelas. Sekolah ini sangat membantu perkembangan sosialisasi Alya."
Selalu Optimis Menjadi seorang ibu bekerja sekaligus single parent telah mengubah Ratna. Ia kini adalah pribadi yang lebih peka dan lebih mudah bersyukur. Di luar sana, sebut Ratna, "Banyak anak autis yang keadaannya lebih parah ketimbang Alya."
Di situlah peran support group orang tua anak penderita autis berperan. Dengan mengikuti milis, Ratna seakan diberi kekuatan setiap hari, "Bahwa aku tidak menghadapi ini sendirian."
Tak memiliki pasangan untuk berbagi juga bukanlah permasalahan yang besar bagi Ratna. "Ketimbang punya pasangan tapi tidak mau ikut susah-payah mengasuh, mengantar terapi, dan mengikuti perkembangan anak, buat saya lebih baik saya sendiri merencanakan langkah apa yang harus ditempuh demi masa depan Alya," katanya.
Salah satu ketakutan terbesar Ratna dalam mengasuh anak autis yakni membayangkan di masa depan nanti Alya tak bisa mandiri, secara emosional maupun finansial. Sebab itulah, Ratna masih menyimpan harap Alya tak termasuk anak autis tipe non-verbal. Toh, keajaiban bisa saja terjadi. "Dokterku bahkan pernah menemui anak autis yang divonis non-verbal tapi tiba-tiba bicara di usia 12 tahun," tukas Ratna.
Meskipun ia tetap bersiap dengan segala kemungkinan, jika kelak Alya ternyata non-verbal, "Aku harap Alya memiliki kemampuan menulis. Pokoknya harus tetap optimis," ujar Ratna seraya merengkuh Alya dalam pelukannya.
Baca juga: Orangtua Berbagi Suka Duka Mengasuh Anak Autisme (2)
Astudestra Ajengrastri, Ade Ryani HMK