Lahir di Jakarta 1 September 1989, aku adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Dari semua saudaraku, hanya dua yang perempuan, aku dan seorang adik yang sangat mirip denganku. Dalam tubuhku mengalir kental darah Minang. Mama berasal dari Payakumbuh, sementara Papa campuran Pariaman dan Blora, Jawa Tengah. Sejak lahir sampai kini, aku tinggal di Jakarta bersama Mama-Papa. Tapi saat SD aku lebih sering menghabiskan waktu di rumah Nenek dan Kakek.
Pasalnya, sekolahku lebih dekat dengan rumah Nenek di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Siang sepulang sekolah, aku biasanya membantu beliau cuci piring dan menyapu lantaran Nenek tak punya pembantu. Sorenya, aku les musik atau mengaji di masjid dekat rumah Nenek. Setiap malam setelah Mama-Papa pulang bekerja, barulah aku dijemput pulang ke rumah di kawasan Taman Mini, Jakarta Timur.
Sejak SD hingga kelas 1 SMU, orangtua mengizinkanku untuk kursus satu alat musik. Nah, sejak kelas 4 SD aku ambil les drum. Aku memang suka ketukan pada musik lagu, termasuk beat drum. Waktu itu, aku masih tergolong tomboi. Hingga kelas 2 SMP, aku ikut kursus alat musik drum. Setelah itu, aku ikut kursus gitar klasik, tapi tak sesukses kursus drum. Aku memang hanya ingin mencoba saja. Di luar itu, waktuku banyak tersita untuk ikut berbagai kegiatan dan lomba.
Ya, sejak aku kelas 2 SD, Nenek rajin menyertakan aku ikut berbagai lomba, antara lain baca puisi, pidato, MTQ, fashion show, menyanyi, dan sebagainya. Sejak saat itu pula, aku kerap ditunjuk pihak sekolah untuk berlomba mewakili sekolah, bahkan sampai tingkat provinsi. Mau tak mau, akhirnya aku terbiasa tampil meski persiapannya sangat mepet. Dulu, Nenek selalu menyodor-nyodorkan aku untuk ikut lomba, tanpa pikir panjang apakah aku bisa atau tidak.
Prinsip beliau, aku pasti bisa. Dan herannya, aku tak pernah bisa menolak. Memang, akhirnya aku jadi bisa. Ketika itu, Nenek adalah guru Bahasa Indonesia yang sudah senior di SD tempat aku belajar.
Dari berbagai lomba yang kuikuti itulah, aku bersyukur jadi anak yang percaya diri dan berani tampil. Lomba-lomba ini juga lama-kelamaan mengasah bakat seniku, terutama lomba baca puisi. Aku senang menghayati kalimat yang kuucapkan saat berdeklamasi.
Piala Tiap Minggu
Saat ikut lomba baca puisi, tak jarang aku ikut menangis bila puisinya menyedihkan. Aku benar-benar menjiwai apa yang kuucapkan. Sementara peserta lain tak ada yang menangis. Mungkin itu sebabnya, baru dua kali ikut lomba, aku langsung juara pertama. Dari lomba puisi itulah, kecintaanku pada dunia akting berawal. Sampai kelas 5 SD, aku selalu jadi juara pertama lomba puisi, mulai dari lomba di sekolah, antar sekolah tingkat kelurahan sampai provinsi.
Namaku lalu dikenal sebagai macannya lomba puisi. Saking seringnya juara, pernah saat kelas 1 SMP, ada calon peserta lomba yang sedang antre pendaftaran di belakangku. Eh, begitu melihatku, dia langsung pulang. Katanya, malas bersaing denganku. Ha..ha..ha.. Di sela-sela lomba puisi, aku juga ikut sederet perlombaan lain selama masa SD dan SMP. Tak heran, di sekolahku ada 37 piala yang dipajang dari hasil lomba yang kuikuti.
Maklum, dulu, kan, lomba semacam itu sering diadakan. Hampir setiap upacara bendera di hari Senin, selalu ada piala yang terpampang di depan para peserta upacara. Semua temanku tahu, itu pialaku. Mulanya, mereka girang dan ikut bangga. Lama-kelamaan, mereka bosan dan hanya berkomentar, "Itu pialamu lagi?" Ha.. ha.. ha.. Aku, sih, senang saja. Soalnya dari menang lomba aku sering dapat hadiah berupa tabungan atau uang tunai ratusan ribu rupiah.