Acha Septriasa Si Jelita yang Jadi Macan Lomba (1)

By nova.id, Selasa, 18 Juni 2013 | 04:31 WIB
Acha Septriasa Si Jelita yang Jadi Macan Lomba 1 (nova.id)

Biasanya, uangnya aku pakai untuk jajan atau beli peralatan sekolah. Kegiatan ini membuatku jadi berani tampil di depan orang banyak sekaligus merasa, aku pasti bisa melakukan apa pun. Kelak, penjiwaan saat lomba puisi ini banyak membantuku saat ikut kasting film. Aku jadi mudah menjiwai meski tak pernah belajar akting. Semua kulakukan secara otodidak. Soal belajar baca puisi dan persiapan lomba lainnya, ini kudapatkan dari Nenek.

Kebetulan, keluarga Nenek memang penyuka sastra dan bahasa. Mama dulu juga pernah ikut teater. Keluarga kami memang pencinta Bahasa Indonesia. Mengarang dan menulis sudah dibiasakan oleh Nenek dan orangtua sejak kami kecil. Itu sebabnya, di kelas 5 SD aku sudah mulai menulis cerpen remaja, puisi, bahkan lagu. Hal ini berlangsung hingga kelas 2 SMU. Kebetulan, aku juga suka menyanyi. Karya-karyaku masih ada, lho, sampai sekarang. Oh ya, aku juga terbiasa menuliskan apa yang ada dalam pikiranku.

Keluarga Romantis

Sibuk ikut lomba di mana-mana setiap minggu bukan berarti aku mengabaikan pelajaran di sekolah. Mengerjakan pe-er atau belajar biasanya kulakukan malam hari di rumah Nenek, sambil menunggu dijemput Mama-Papa. Aku juga bersyukur lahir di keluarga yang romantis. Setiap salah satu dari kami berulangtahun, mengucapkan permintaan maaf atau selamat, kami tulis dalm bahasa yang indah. Sejak kami kecil, Mama rajin menyimpan semua surat dan kertas-kertas itu.

Beranjak dewasa, baru aku tahu Mama sering menulis diary dan membuat gambar tentang kehidupan anak-anaknya. Termasuk, cerita sejak awal Mama mengandung masing-masing anak, sulitnya saat persalinan, dan sebagainya. Semua cerita tiap anak pun dibacakan saat kami menginjak usia 17 tahun. Waktu tiba giliranku merayakan ulangtahun ke-17, Mama juga membacakan ceritanya. Waktu itu, aku sudah jadi artis. Aku menangis penuh haru mendengarnya.

Saat mengandungku, dokter memperkirakan Mama akan melahirkan bayi laki-laki. Padahal, Mama baru empat bulan melahirkan kakakku. Lalu beliau merasa sering pusing, makanya banyak minum obat. Itu sebabnya Mama kaget ketika tahu hamil lagi. Dokter memperkirakan kelahiranku bisa terganggu akibat obat pusing yang dikonsumsi Mama. Entah benar atau tidak, ternyata memang proses kelahiranku sangat sulit. Menurut Mama, perjuangan antara hidup dan mati, lebih sulit dari melahirkan anak pertama.

Setelah aku lahir, seluruh keluarga gembira karena baru kali ini anak perempuan hadir di tengah keluarga. Tak heran, aku sangat dilindungi keluargaku dan seluruh perhatian terpusat padaku. Ke mana-mana, Mama juga selalu mendampingi. Nama Jelita yang diberikan kepadaku juga punya cerita. Ketika itu, ada yang mengirim karangan bunga atas kelahiranku. Di situ juga tertera ucapan selamat untuk Si Jelita, karena aku perempuan. Dari situlah, Mama dan Papa sepakat memberiku nama Jelita Septriasa.

Meski kami keluarga besar, perhatian Mama-Papa kepada anak-anaknya selalu berlimpah. Mereka benar-benar mengawasi dan mengikuti perkembangan kami satu per satu. Kami diajarkan untuk menomorsatukan keluarga dan kebersamaan. Itu sebabnya, meski jarak usia terpaut jauh, hubungan kami sangat dekat satu sama lain. Selain itu, kami senang saling memberi kejutan, misalnya saat ulang tahun.

Belajar Lebih Keras

Barang-barang buatan tangan menjadi sesuatu yang sangat bernilai dalam keluarga kami, dibanding barang mahal. Misalnya, saat ada yang berulang tahun atau peringatan hari ibu, masing-masing dari kami membuat tulisan. Tulisan itu diberi nama lalu dipajang. Kami lebih menghargai yang seperti ini, daripada diberi hadiah berupa barang. Lucunya, aku dan kelima saudaraku masing-masing memiliki sifat berbeda.

Si sulung, Jessi, punya banyak teman dan bandel. Anak kedua, Jossi, lebih pendiam tapi sangat berprestasi di sekolah. Anak ketiga, aku, lebih nyeni. Anak keempat, Juwita, juga pandai sekaligus bossy. Anak kelima, Joffi, pendiam tapi kalau pacaran awet dan setia hanya pada satu orang. Anak keenam, Jorghi, sangat pandai bergaul. Meski terpaut usia sembilan tahun dariku, dia bisa dengan mudah bermain dengan teman-temanku, atau bahkan teman kakak-kakakku.

Malah terkadang saat mereka ke rumah, bukan kami yang dicari, melainkan si bungsu. Jika kami sedang sibuk, mereka akan mengajak dia pergi. Lantaran kami berbeda sifat satu sama lain, keluargaku selalu ramai dan hangat. Kami juga saling mendukung kegiatan satu sama lain.

Walau sibuk dengan kegiatan di luar sekolah, aku tak pernah mau ketinggalan nilai. Tapi pernah, sih, saat di dalam kelas aku kadang tertidur akibat terlalu capek atau tak bisa menjawab pertanyaan guru. Makanya saat ulangan atau ujian, aku akan belajar dua kali lipat lebih keras dari teman-temanku. Terkadang, temanku yang paling rajin atau pintar pun nilainya kubalap. Mereka menilai aku punya hoki besar. Ha..ha..ha..

Padahal, aku setengah mati belajar mengejar nilai. Biasanya, seminggu menjelang ujian, aku mulai belajar. Jika tidak, nilaiku pasti akan jelek. Alhamdulillah, dengan cara ini aku bisa masuk urutan 10 besar di kelas. Malah, saat SMA pernah pula aku duduk di ranking enam. Oh ya, aku dulu juga tomboi dan sangat menyukai olahraga laki-laki, seperti sepakbola dan basket.

(BERSAMBUNG).

 Hasuna Daylailatu

(Nomor depan: Acha mulai terjun ke layar lebar saat SMU. Berawal dari pemeran pendukung, di film berikutnya, Heart, nama Acha langsung mencuat dan dikenal luas di Tanah Air. Duetnya bersama Irwansyah dalam lagu tema film itu membuat ia juga dielu-elukan sampai ke luar negeri. Sambil kuliah di Malaysia, ia bolak-balik ke Jakarta untuk menjalani syuting.)