Mengapa konsentrasi di pelestarian bahari?
Ketika SAYA masih SMP, hampir setiap pulang sekolah ikut Bapak, Muchson atau biasa dipanggil Sony, ke pantai dekat rumah di kawasan Wonorejo, Surabaya. Pantai itu masuk wilayah pantai utara Surabaya, muara dari sungai yang melintasi Surabaya. Di pantai itu saya dan Bapak sering bersih-bersih, memunguti sampah yang terbawa dari anak sungai. Jumlahnya luar biasa banyak. Sampah itu beragam jenisnya, dari tas kresek sampai kasur pun ada.
Kok, memunguti sampah?
Bila tidak dipunguti, selain menganggu pemandangan, yang lebih bahaya lagi bisa merusak ekosistem mangrove. Padahal, keberadaan mangrove sangat diperlukan. Pepohonan dengan akarnya yang kuat dan menjalar ke mana-mana itu bisa menangkis terjadinya abrasi. Jika tak ada mangrove, ombak laut akan menghantam daratan dan menghancurkan apa saja yang ada di tepi pantai, dari tambak ikan sampai rumah penduduk akan rusak.
Tak cuma itu, di bawah mangrove itu tempat berkembang biaknya biota laut, seperti ikan, kepiting, dan lainnya. Menurut penuturan orang-orang tua warga setempat, daratan yang ada di wilayah Wonorejo dulu menjorok sekitar 3 km ke tengah laut. Akibat abrasi, tambaknya makin lama makin tergerus. Dulu mangrove tumbuh subur, tapi oleh warga banyak ditebangi.
Mengapa?
Kayu mangrove harganya mahal. Arang dari kayu mangrove jenis api-api sangat bagus. Selain memiliki panas yang tinggi, bila ikan dibakar menggunakan arang dari jenis mangrove api-api aroma ikannya makin terasa. Pembalakan kayu mangrove masih berjalan hingga 2007. Tahun 2008 baru berhenti setelah Pemkot Surabaya mengeluarkan peraturan perlindungan bagi tanaman mangrove.
Tak mengajak warga lain?
Semula hanya saya berdua Bapak saja, tapi lama-lama Bapak coba mendekati para pemilik tambak yang ada di pesisir pantai untuk ikut terlibat. Sebab, pemilik tambak sangat berkepentingan. Dengan pantai yang bersih, abrasi tak akan terjadi, sehingga tambak mereka selamat dari gempuran ombak.