Kenapa pilih bisnis rajutan?
Sebelumnya saya pernah berbisnis busana muslim berbahan kaus, kulakan dari pabrik garmen di Klaten. Tapi modalnya terlalu besar, sementara untungnya kecil. Nah, sekitar tiga tahun lalu ketika ke Bali saya lihat orang berbisnis baju rajutan, kok, laris dan prospeknya bagus. Lalu saya beli 20 buah baju rajutan itu dan dijual lagi di Jogja. Eh, laku.
Kebetulan, di desa saya banyak ibu-ibu yang bisa merajut. Mereka korban PHK pabrik besar. Saya rekrut mereka untuk merajut. Awalnya saya cuma mengajak tiga orang senior, lalu mereka saya minta untuk melatih ibu-ibu lain yang belum bisa. Sejak itu saya mulai merintis usaha baru, memproduksi busana modifikasi rajutan dan kain katun.
Busana untuk orang dewasa?
Oh, tidak. Saya buat mulai dari baju bayi umur satu bulan, anak TK, SD, remaja, hingga dewasa. Selain baju, saya juga membuat bando, bolero, ponco, dan kerpus (topi bayi).
Di mana menjualnya?
Awalnya saya jual produk seminggu sekali di pasar tiban Sunday Morning di Kampus UGM. Semula cuma bawa 20 pieces, sekarang bisa 150 pieces sekali jualan. Pelanggannya juga makin banyak. Produk saya ada unik dan lucu, jadi cepat laku. Desain dan jenis kainnya juga selalu baru tiap minggunya. Ketika ada perayaan sekaten bulan lalu, sebulan lebih saya jualan di Alun-Alun Utara. Tiap hari bisa laku minimal 50 pieces.
Sering ikut pameran atau bazar?
Ya, kalau ada yang mengajak pameran saya ikut. Saya senang kalau diajak, soalnya tidak perlu sewa tempat. Menurut saya, tiap kali ikut pameran lebih sering tidak ada pesaing, jadi dagangan saya pasti laku. Dibandingkan bisnis sebelumnya, produk rajutan ini untungnya bisa lima kali lipatnya, sementara modalnya justru lebih sedikit.