Grace Natalie, Pengalaman Seram di Kamar Mayat (2)

By nova.id, Kamis, 5 April 2012 | 23:27 WIB
Grace Natalie Pengalaman Seram di Kamar Mayat 2 (nova.id)

Begitulah, aku tampil hingga babak final. Tugas peserta membacakan berita, kemudian reportase lapangan. Salah satu materinya tentang kebakaran. Ada tanya jawab, seolah-olah peserta benar-benar tengah melakukan liputan kebakaran. Tak disangka, aku meraih juara pertama. Orangtuaku yang ikut menemani selama lomba, tentu ikut bahagia. Lantas, hadiah utamanya langsung kujual. Ha ha ha...

Lucunya, meski sudah sering ikut lomba, tetap saja aku stres menjelang tampil di layar kaca. Bila sudah begitu, perut jadi mulas. Rupanya inilah asyiknya. Bagaimana bisa lepas dari masa tegang dan bisa tampil dengan baik.

Ditemani Anjing Liar

Fase lomba terus berlanjut. Para juara masing-masing kota dikumpulkan untuk memperebutkan juara nasional. Hadiah utamanya mobil. Wah, sangat menyenangkan bila berhasil meraihnya. Sayang, aku enggak berhasil jadi juara. Aku hanya masuk lima besar.

Dalam rangka lomba ini, lagi-lagi kami dikarantina selama 10 hari. Seminggu selesai karantina, aku langsung sidang skripsi. Kelabakan juga. Namun, aku bisa melewatinya dengan baik. Lulus kuliah tahun 2004, aku ditawari untuk bergabung dengan SCTV. Awalnya aku putuskan untuk coba-coba dulu. Andai saja enggak cocok, aku akan kembali ke jalur akuntansi. Ternyata, pekerjaan menjadi jurnalis teve begitu menyenangkan. Aku sangat menikmatinya.

Mulailah aku menjadi reporter dengan tugas pertama di desk kriminal. Hari pertama tandem bersama senior, berikutnya mesti jalan hanya bersama Mas Dwi Guntoro, sang juru kamera yang sudah senior. Aku selalu berpasangan dengan Mas Dwi. Dialah yang membimbingku bagaimana menjalankan tugas reportase, antara lain menjalin relasi dengan narasumber.

Seram juga ketika pertama kali meliput kasus pembunuhan. Aku mesti ke kamar mayat RS Cipto Mangunkusumo untuk mengecek keadaan korban. Saat itu ada korban pembunuhan dengan luka di kepala dan leher. Aku sempat ikut otopsi. Lebih seram lagi, suatu saat kami telat sampai lokasi. Sampai di kamar mayat, suasana sudah sepi. Apalagi, hari sudah malam. Teman jurnalis lain sudah meninggalkan lapangan.

Bayangkan, malam-malam di kamar mayat. Semula bisa tenang, apalagi ada Mas Dwi dan penjaga kamar mayat yang menemani. Namun, saat aku sibuk mencatat data-data, tiba-tiba Mas Dwi menghilang. Si penjaga kamar mayat juga enggak kelihatan.

Wah, seram juga. Ke mana mereka? Pelan-pelan aku meninggalkan kamar mayat. Di luar pun sepi. Mas Dwi enggak tampak juga. Aku langsung masuk mobil. Tiba-tiba saja, "Wuaaaa....!!!" Terdengar teriakan dari arah kursi belakang mobil. Aku sempat pucat pasi, tapi disusul tawa Mas Dwi. Aduh, Mas Dwi berhasil ngerjain aku. Ha ha ha...

Namun, Mas Dwi merupakan teman liputan yang asyik. Kami pernah bersama-sama liputan Gunung Talang meletus di Kabupaten Solok (Sumbar). Kisahnya seperti pertualangan. Tanpa banyak perhitungan, kami sepakat harus dapat gambar kawah. Padahal, status gunung masih 'awas'. Artinya, keadaan masih bahaya.

Gunung bisa meletus sewaktu-waktu. Aku dan Mas Dwi nekat mendaki. Dalam bayanganku, kayak naik ke Puncak. Maklum aku bukan termasuk pencinta alam, tak paham kondisi gunung. Ternyata, medannya susah banget. Ditambah lagi, kami tidak bawa bekal cukup. Intinya, nekat!

Kami cukup beruntung karena bertemu tiga remaja yang juga mau mendaki. Jadi kami naik berbarengan. Makin ke atas, medan kian sulit. Tubuhku mulai lemas. Pokoknya gila, deh. Karena bekal enggak cukup, kami akhirnya makan tomat atau srikaya yang kami temukan di jalan. Sampai di puncak, saking hausnya aku pun minum sepuasnya di sumber mata air.