TabloidNova.com - Dalam ilmu psikologi, komunikasi bukan hanya perlu dilakukan oleh dua orang dewasa saja, tapi juga antara orang dewasa (orangtua dan guru) dengan anak-anak atau murid mereka. Tujuannya, agar pendapat atau informasi yang ingin disampaikan salah satu pihak bisa diterima dengan baik oleh pihak lainnya.
Hal ini diutarakan oleh psikolog Dr Rose Mini, APM, Psi, ketika menjadi salah satu pembicara pada seminar pendidikan dengan peserta para guru yang digelar oleh PT Tupperware Indonesia dengan tema "Aku Anak Sehat", Sabtu (10/5) di Jakarta Barat.
"Belum tentu anak melakukan salah, mungkin saja instruksi atau perkataan yang diucapkan orangtua atau gurunya memang tidak jelas dan tidak dimengerti oleh si anak. Maka, cara komunikasinya yang harus dibetulkan," paparnya.
Pada dasarnya, kata psikolog yang kerap disapa Bunda Romi ini, anak ibarat kertas putih yang kemudian akan ditulisi oleh pengalaman-pengalaman yang ia alami dari orang-orang atau lingkungan sekitarnya.
"Anak adalah peniru ulung. Jadi kalau ada anak nakal, misalnya, orangtuanya di rumah seperti apa? Mereka mengajari dan mendidik anaknya bagaimana? Orangtuanya bersikap atau memberi contoh seperti apa? Nah, begitu pula di sekolah. Belum tentu si anak itu bodoh dalam mengikuti pelajaran di kelas. Bisa jadi gurunya memang tidak memberi penjelasan yang tak dipahami si anak," papar Bunda Romi.
Untuk itu, Bunda Romi memberi saran, kiat, dan strategi kepada para orangtua dan khususnya para guru di sekolah, agar memberikan penjelasan yang konkrit kepada anak-anak, terutama usia balita dan sekolah dasar.
"Sebab di usia ini, anak masih memiliki keterbatasan dalam pola pikirnya, atau masih sederhana. Masih belum bisa diberi penjelasan panjang lebar, melainkan harus diberi contoh konkrit dan rasional. Misalnya, jika si anak harus belajar hidup sehat, berikan contohnya mengapa ia harus makan sayur, dan menggunting kukunya, misalnya."
Jika memang anak melakukan kesalahan, Bunda Romi mengatakan, idealnya orangtua maupun guru mengajarkan konsep konsekuensi ketimbang memberikan reward (hadiah) dan punishment (hukuman).
"Di dalam konsekuensi, ada negosiasi antara orangtua atau guru dan anak. Artinya, orangtua atau guru perlu menyosialisasikan dulu ke pada anak, misalnya jika ia tidak mengerjakan PR akan apa? Jika ia tidak mandi akan apa?" papar Bunda Romi lagi.
Dengan demikian, katanya, anak jadi tahu kalau melanggar aturan tersebut akan menyadari konsekuensinya. Sementara dalam reward and punishment, si anak tidak punya kesempatan bernegosiasi. Sebab memberi hadiah dan hukuman sifatnya hanya searah, dari orangtua atau guru ke anak
Boleh-boleh saja sih memberi "hadiah" kepada anak, tetapi sebaiknya tidak melulu berupa barang yang akan membuat anak manja dan ketergantungan pada hadiah. Melainkan, lanjut Bunda Romi, beri anak pujian, pelukan, atau ciuman sayang saat ia berhasil melakukan sesuatu dengan memuaskan.
Intan Y. Septiani
#STOP KEKERASAN PADA ANAK!