Pisah di Usia Senja

By nova.id, Selasa, 11 Juni 2013 | 08:44 WIB
Pisah di Usia Senja (nova.id)

Pisah di Usia Senja (nova.id)

"Foto: Getty Images "

Betapa terkejutnya publik saat Lydia Kandou dan Jamal Mirdad atau Camelia Malik dan Harry Capri. Tak ada yang menyangka ketika pasangan yang senantiasa mesra dan kompak ini mengajukan gugatan cerai. Apa yang menyebabkan perpisahan ini bisa terjadi?

Menurut Tara de Thouars, BA, M.Psi., psikolog dari Lighthouse. "Dulu tidak terlalu banyak perceraian karena nilai pernikahan masih sakral. Mau menderita seberat apa pun, tidak ada kata cerai dan perempuan pun banyak diam serta menurut."

Nilai perkawinan pun berubah seiring globalisasi. "Pasangan lebih mengutamakan kebahagiaan, aktualisasi diri, dan pencapaian individual hingga lebih berani mengambil langkah cerai." Perempuan zaman sekarang pun merasa lebih kuat, berani, mandiri, dan mempunyai keputusan yang bertolak belakang dengan ajaran zaman dulu.

Idealnya, lanjut Tara, globalisasi atau alasan apa pun membuat hubungan pasangan makin kuat seiring usia penikahan yang makin lama. "Tapi, ini berlaku bagi pasangan yang tidak bermasalah. Jangan santai dulu bagi pasangan yang bermasalah."

Ingin Bahagia

Apa saja masalah yang rawan menimpa pasangan suami istri di usia perkawinan yang sudah lama? Salah satunya, masalah prinsipil seperti kepercayaan, prinsip dasar, dan tidak terjalin komunikasi. Masalah-masalah ini selalu dicoba diselesaikan, tapi tidak pernah menemukan titik temu.

Di lain sisi, memutuskan bercerai bukan hal gampang. "Banyak sekali pasangan yang menunda perceraian karena pertimbangan anak, belum siap, atau status. Akibatnya, meski tidak nyaman tetap dipertahankan," papar Tara. Para pasangan pun memilih bercerai di usia tua karena melihat anak-anak sudah besar. "Orangtua yakin anak-anak sudah bisa mengatur hidupnya tanpa pengawasan mereka lagi."

Dan, terlepas dari usia pernikahan, komitmen suci ini pun memiliki pasang surut. "Nah, saat pernikahan lagi bagus, mau berkomitmen. Tapi, begitu bertengkar hebat, memutuskan bercerai. Akibatnya, pernikahan pun tidak nyaman," jelas Tara.

Psikolog ini juga mengingatkan bahwa usia 40 tahun ke atas adalah usia ketika orang ingin sukses dari sisi karier, spiritual, dan pernikahan. "Mereka yang berkarier makin ngotot dan mereka yang pernikahannya tidak bahagia pun mencari kebahagiaan. Ketika tidak ada titik temu dengan pasangan, mereka merasa mampu mencari kebahagiaan sendiri."

Lima Pemicu

Terlepas dari usia pernikahan, berbagai masalah selalu mengintai tiap pasangan yang sudah menikah. Pertama, uang. Sebenarnya, uang tak akan menjadi masalah meskipun istri bergaji lebih tinggi. "Kalau sejak awal hubungannya sudah baik, saling menghormati, dan saling mendukung. Lain soal bila suami berkecil hati, uang pun menjadi problem," tutur Tara.

Kedua, ketidakcocokan dengan mertua. "Mertua merasa tidak diperhatikan anak laki-lakinya atau istri merasa diabaikan suami, karena suami lebih memerhatikan ibunya."  Ketiga, luka batin. Contohnya, suami atau istri pernah berselingkuh. "Kejadian pahit itu berusaha dilupakan, tapi tidak bisa. Jika sedang bertengkar, luka lama itu kembali terbuka."

Keempat, perbedaan agama. "Awalnya tidak dipermasalahkan karena saling memahami. Setelah anak makin besar, malah tidak mendapat dukungan dari pasangan. Atau, baru mendapatkan nilai dari agama yang dianutnya yang ternyata makin melebarkan perbedaan tersebut," papar Tara.

Kelima, kekerasan dalam rumah tangga yang berlaku bagai lingkaran setan. Ketika kekerasan pertama terjadi, ada kesadaran dalam perempuan bahwa dialah yang memancing kemarahan suami. "Perempuan selalu diajarkan mengalah, menahan emosi, dan sabar. Lama-lama lingkaran makin cepat berputarnya dan perempuan makin terjebak di dalam lingkaran itu."

Komponen Segitiga

Masalah rumah tangga ini bisa dihindari atau dikurangi selama pasangan melakukan tiga komponen yang diibaratkan sebagai segitiga sama sisi. "Jika salah satu komponen tidak ada, pernikahan pun akan goyang," papar Tara. Komponen pertama adalah komitmen pernikahan. Jika komitmen mulai berkurang, berarti visi, misi, dan tujuan pernikahan harus diperkuat. 

Kedua, passion atau gairah harus tetap ada. Kalau salah satu melihat pasangannya tidak menarik berarti passion-nya hilang. "Hidupkan dengan bulan madu kedua dan coba gali kembali apa yang dulu membuat Anda tertarik pada pasangan."

Ketiga, intimacy atau kedekatan emosional, komunikasi yang terbuka, saling memahami, ada bagi satu sama lain, dan waktu berkualitas yang lebih bermanfaat. Bila tak suka pasangan blakblakan, katakan sejujurnya.

Terakhir, sebelum memutuskan perceraian, Tara menganjurkan setiap pasangan memikirkan efek positif dan negatif. Pertimbangkan pula dengan akal sehat. "Tapi, kalau pernikahan sudah tidak sehat, kenapa harus dipertahankan? Meskipun demi anak, apakah anak akan hidup sehat di lingkungan keluarga yang tidak sehat?" tegas Tara.

Tahun Kritis Pernikahan 

Tahun pertama pasangan masih dalam suasana bulan madu. Apa saja yang dilakukan pasangan, masih banyak "stok" maaf dan passion-nya pun masih tinggi. Tapi, di tahun ketiga pernikahan, keburukan pasangan mulai kentara. "Situasi makin pelik karena sudah ada anak. Belum lagi kebutuhan makin meningkat. Tadinya berdua saja terasa lebih mudah, tapi makin sulit setelah ada anak."

Nah, begitu pasangan suami-istri bisa melewati tahun ketiga, keempat, dan kelima, harusnya pernikahan sudah bisa berjalan mulus. "Kecuali ada masalah pinsipil yang tidak bisa diselesaikan. Belasan tahun kemudian masalah itu bisa muncul lagi karena belum tuntas. Jika masalah besar saja tidak selesai, masalah kecil jadi pemicu masalah besar tadi."

Khusus bagi pasangan bermasalah tadi, masa kritis bisa muncul di usia pernikahan 25 tahun ke atas. "Di mana orang ingin bahagia, sukses, mandiri, dan masih produktif." 

 Noverita K. Waldan