Heny Kustiarsih Ciptakan Resor Bernuansa Desa (2)

By nova.id, Kamis, 2 September 2010 | 06:38 WIB
Heny Kustiarsih Ciptakan Resor Bernuansa Desa 2 (nova.id)

Omong-omong saat menggagas VJH, Anda tinggal di mana?

Semula saya bekerja sebagai lawyer di Jakarta. Karena tak tahan bisingnya Jakarta, saya memilih tinggal di rumah joglo. Kebetulan tiga anak saya lebih suka tinggal di sini, sedangkan suami berkantor di Jakarta. Saya tinggal di rumah joglo sekaligus mengelola VJH.

Setelah VJH siap semua, saya mulai mempromosikannya. Saya bekerja sama dengan pemerintah kabupaten, provinsi, dan travel agent di Jawa Tengah, Jogja, Jakarta, dan kota-kota di Sumatera.

Wow, Anda juga ikut mempromosikan wisata lokal, ya?

Betul. Sambil menikmati desa wisata, para tamu bisa menginap di VJH. Jadi, saya bersama Pemda berkolaborasi menggalakkan wisata lokal. Desa kami juga punya YTC (Youth Traditional Center), jadi masih tradisional sekali. Masih ada mainan dakon, egrang, lesung, dan gamelan. Juga masih ada rumah Jawa, pabrik tahu-tempe, sapi perah. Keunikah inilah yang juga turut dipamerkan kepada para tamu.

Empat bulan sekali, saya mengundang anak-anak sekolah mulai TK-SMP, memperkenalkan kondisi desa ke mereka. Misalnya mengajak anak-anak ikut proses menanam padi, mulai dari membajak sawah dengan kerbau. Wah, anak-anak suka sekali saat diajak nyebur ke sawah ikut menanam.

Ketika panen tiba, mereka juga diundang lagi. Saya ajak ibu-ibu petani di desa untuk mengajari anak-anak memanen padi pakai ani-ani. Lalu, mereka juga ikut memproses padi menjadi beras dengan cara menumbuknya dalam lesung.

Bagaimana respons masyarakat sekitar?

Positif sekali. Saya juga, kan, sering mengajak mereka bekerja sama. Dari 25 karyawan VJH, separuhnya berasal dari desa setempat. Berkat kerja sama ini, VJH jadi berkembang. Banyak tamu yang datang menginap di sini, baik dari dalam maupun luar negeri, misalnya Belanda, Singapura, Malaysia, Korea, India.

Yang terbanyak dari Belanda. Mereka mengaku senang menginap di resor yang nyaman dan tenang. Rata-rata mereka berkomentar, "Sungguh tempat yang indah dan tenang." Orang Belanda datang ke mari karena ada kedekatan dengan wilayah sekitar. Dulu, di zaman Belanda, banyak yang kerabatnya tinggal di sini. Misalnya saja mereka ingin ziarah ke makam kakeknya.

Tamu lokal juga banyak. Ada yang ingin berbulan madu atau sekadar mencari ketenangan. Yang membanggakan, banyak di antaranya masih berusia muda. Saat musim liburan, saya sampai menolak tamu. Kapasitas VJH memang terbatas, hanya sekitar 50 orang.

Berapa tarif menginap di sini?

Saya rasa masih terjangkau, ya. Harga sudah termasuk break fast. Tempat ini bisa untuk meeting atau acara pernikahan adat Jawa. Tak sedikit juga mereka yang datang untuk membuat foto pre wedding.

Anda juga mengenalkan budaya Jawa kepada anak-anak?

Tentu saja. Saya menamai anak-anak kami dengan nama Jawa, Retno Larasati (14), Aryo Bismo (10), dan Aryo Seto (5). Mereka menguasai tiga bahasa: Inggris, Indonesia, dan Jawa. Sejak kecil anak-anak belajar menari tradisi Jawa. Malah Bismo ingin bisa mendalang. Saya sudah memperkenalkan karakter wa­yang kepadanya. Setidaknya setahun sekali, anak-anak juga kami ajak ke Australia. Kakek-nenek mereka sudah tiada, tapi masih ada kakak suami. Oh ya suami saya yang sudah 25 tahun tinggal di Indonesia, maunya juga tetap tinggal di Indonesia.

 Henry Ismono