Nah, di sinilah letaknya aku dan rekanku, Ichsan Akbar, harus hati-hati dalam membawakan acara itu karena aku harus mengomentari si selebriti. Aku berusaha untuk tidak nyinyir. Namun, tetap harus dalam konteks komedi. Nama acaranya saja Lolebay, jadi ya harus begitu.
Ketika aku dan Ichsan diberi skrip, pasti akan membicarakan naskahnya dulu sebelum syuting dimulai. Lalu kami keluarkan cerita atau komedi apa yang pas. Intinya kami saling berbagi, memberi masukan atau membanyol sehingga semua pekerjaan akan lebih lancar.
Kini, adik bungsuku mengikuti jejakku menjadi presenter. Tapi bila ia tak kunjung lolos casting, aku sebal mendengarnya. Sebab, menurutku, bila ia teramat mudah menyerah di dunia entertainment apa yang diinginkannya tak akan berhasil. Dunia hiburan itu ibarat kue yang dimakan banyak orang. Jadi, ia harus mendapatkan "kue" itu.
Lebih Relaks
Untuk tampil di acara-acara teve, sudah pasti aku amat memperhatikan secara detail dan sepenuh hati. Mulai dari baju hingga bagaimana membawakan acara itu. Biasanya aku menyesuaikan dengan tempat di mana acara itu kubawakan. Makanya, bila ditanya mana pekerjaan yang lebih enak, tak bisa kukatakan atau memilih mana yang lebih enak. Sebab berbeda rasanya.
Di radio, suasananya lebih relaks karena hanya bicara, tidak memikirkan penampilan. Sementara bila tampil sebagai MC uangnya lebih banyak. Ha...ha...ha.... Menjadi presenter di teve beda lagi. Aku harus memperhatikan penampilan. Aku tak mau tampil mengecewakan. Aku harus bisa menunjukkan kerja sebagus mungkin.
Dibilang sukses? Hmm... bagiku kesuksesan itu sebuah proses yang tak ada ujungnya. Tiap hari aku punya PR yang harus kuselesaikan. Ibaratnya, besok aku diundang menjadi presenter di sebuah mal, maka aku harus berpikir apa yang akan kukatakan di sana. Atau, penampilan macam apa yang harus aku persiapkan. Aku juga harus tahu bagaimana tipe pengunjung di mal itu? Hal-hal seperti itu adalah pekerjaan rumah yang harus aku selesaikan dengan baik.
Bertemu Jodoh
Dunia radio, MC, dan presenter inilah yang akhirnya mempertemukanku dengan calon suamiku. Oh ya, aku ingin cerita ke belakang sedikit, ya. Sebab sebelum bertemu jodoh, aku sudah pernah gagal pacaran berkali-kali.
Ceritanya, semasa kuliah, saat pacaran aku pernah dipermainkan cowok. Entahlah apa sebabnya. Sedih, sudah pasti. Teman-temanku banyak bilang ingin menikah di usia 25 tahun atau 26 tahun. Aku sempat heran, kenapa mereka bilang begitu. Aku, sih, menegaskan ingin berkarier dulu selulus kuliah. Setelah usiaku 28 tahun atau 29 tahun, baru akan menikah. Eh, benar saja, sekarang di usia ke-29 tahun, aku akan menikah!
Calon suamiku bernama Tyson Lynch James. Kami sudah berpacaran selama 1,5 tahun. Aku mengenal Tyson lewat temaku. Hubunganku dengan Tyson, dibilang cocok 100 persen, enggak juga. Aku rasa tak ada dua insan yang berbeda bisa cocok 100 persen. Aku dengan Tyson menjalin hubungan yang dewasa. Artinya, tak setiap hari hubungan kami menyenangkan. Kadang saat bertengkar, aku merasa ingin ia pergi saja dari kehidupanku. Tapi setelah kurenungkan kembali, akhirnya aku sadar, hidupku memang bersamanya. Sifat egois, emosi, memang dialami setiap pasangan, kan?
Sampai hari ini, kami sudah menghabiskan uang dan keribetan birokrasi untuk mengurus surat-surat nikah. Kami tak mau menyerah lagi hanya karena pertengkaran. Aku berusaha mempertahankan hubungan kami. Lelah pacaran terus, ujung-ujungnya selalu putus. Bahkan, aku pernah lho berpacaran dengan pria beda agama.
Kenapa aku memilih Tyson yang berwarga kenegaraan Australia? Di satu sisi, aku ingin melacarkan bahasa Inggrisku, ha...ha...ha..... Soal keterampilan bahasa Inggris, sejujurnya aku pernah les beberapa kali tapi enggak membuahkan hasil yang bagus. Mungkin karena tak ada partner bicara. Selain itu, jujur, aku juga menyukai tubuh Tyson yang atletis.
Andai ada problem, mungkin karena Tyson tak terlalu religius. Ia bilang padaku, terakhir kali ke gereja saat usia 6 tahun! Tapi aku bilang padanya bila ingin menikahiku harus benar-benar menjadi pria yang yakin dengan agamaku. Akhirnya ia menurut. Kini ia sudah dibaptis. Anehnya, bila aku lupa berdoa, misalnya saat mau makan, bekerja atau aktivitas lainnya, ia selalu mengingatkanku agar berdoa dulu. Keluargaku memang religius. Papa selalu mengajarkan kami harus selalu berdoa sebelum memulai aktivitas apa pun.
Kini, setelah profesiku mapan, aku tinggal di apartemen, terpisah dengan orangtua. Tapi Papa selalu mengingatkan agar minimal sebulan sekali kami harus kumpul. Biasanya kami berkumpul bersama keluarga pas acara ulangtahun. Kami ada tradisi memberi kado, tak harus yang mahal. Yang penting perhatian dari seluruh keluarga. Lalu jam 12 malam kami berdoa bersama. Biasanya Papa yang memimpin. Tradisi acara ulang tahun biasanya diakhiri makan malam sekeluarga.
Nah, kini setelah ada Tyson, lengkap sudah kebahagiaan kami. Bagaimana bila Tyson kembali ke negerinya? Aku sudah memutuskan, ke mana pun Tyson pergi, akan kuikuti. Mohon doanya, ya!
Noverita K. Waldan