Second Opinion Jangan Segan Bertanya

By nova.id, Jumat, 16 November 2012 | 02:50 WIB
Second Opinion Jangan Segan Bertanya (nova.id)

Second Opinion Jangan Segan Bertanya (nova.id)

"Ilustrasi "

Hampir dua minggu Karina kewalahan mengurus Malik yang tak kunjung sembuh dari diare. Selain lemas, Malik susah makan dan malah muntah-muntah. Padahal ia sudah memeriksakan anak­nya ke dokter dan mematuhi semua anjurannya. Rekan kerja Karina menganjurkan ia mencari second opinion. Meski sempat takut dokter langganannya akan tersinggung, akhirnya ia menuruti nasihat temannya.

Kompetensi Sama

Apa yang dialami Karina mungkin pernah Anda alami. Menurut dr. Arifianto, Sp.A., dari Yayasan Orangtua Peduli (YOP), adalah hak pasien atau konsumen kesehatan untuk mendapatkan pendapat dari dokter lain mengenai masalah kesehatan yang dialami Si Pasien tersebut.

"Bisa juga didefinisikan sebagai seorang pasien datang ke dokter A yang memiliki kompetensi di spesialiasi tertentu. Kemudian, karena satu dan lain hal, dia mengunjungi sendiri dokter B yang kompetensinya sama dengan dokter A," papar dokter spesialis anak yang aktif "berkicau" di Twitter dengan akun @dokterapin ini.

Meski sedikit, second opinion juga berlaku untuk kasus yang ditangani beberapa dokter spesialis dengan kompetensi berbeda. "Misalnya hernia pada bayi. Dokter A bilang harus operasi tapi dia tidak memberitahu kapan harus dikerjakan atau tidak merujuk," ujarnya. Ketika pasien berinisiatif berkonsultasi ke dokter bedah, maka ia dianggap telah melakukan second opinion.

Jangan Takut

Meski termasuk hak, tak jarang pasien atau konsumen kesehatan segan atau takut meminta second opinion. Ternyata, fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia. Survei Harvard di tahun 2010 mengungkapkan sebanyak 70 persen orang Amerika Serikat merasa tidak memerlukan second opinion atau bahkan mencari tahu penyakitnya.

"Sebenarnya tidak perlu merasa enggak enak karena ini sudah diatur undang-undang," tegas Arifianto. Apalagi, menurut pria yang biasa dipanggil dokter Apin ini, jika kasus yang didiagnosis adalah penyakit berat seperti kanker yang mengharuskan kemoterapi atau lupus. "Sebaiknya jangan percaya dengan satu dokter. Apalagi penyakit berat itu memiliki konsekuensi menentukan sisa hidup yang ada atau akan melibatkan banyak orang lain untuk mengurus dia."

Second opinion juga bisa diambil jika Anda ragu dengan diagnosis dokter. "Atau, dokternya ragu-ragu menjelaskan penyakitnya apa. Kita boleh meminta second opinion terlepas dari apa pun diagnosisnya." Lalu, ketika diagnosis dan terapi tidak sesuai. "Bilangnya infeksi virus, tapi dikasih antibiotik. Anak kurus karena turunan tapi dikasih susu formula," papar Arifianto.

Second opinion juga bisa dilakukan bila, "Penyakit membutuhkan pemeriksaan atau pengobatan yang memakan biaya mahal, dalam waktu singkat, dan kalau tidak kasus emergency (darurat). Baik obat maupun pemeriksaan," tegasnya.

Terakhir, second opinion bisa diminta jika pengobatan berlangsung dalam jangka panjang. "Misalnya TBC paru. Kan, belum tentu itu TBC paru, bisa saja batuk pilek biasa. Atau, sindrom nefrotik (ginjal bengkak) yang minum obatnya minimal dua bulan," papar ayah dua anak ini. Walaupun diagnosis dokter jarang meleset, Arifianto menganjurkan second opinion. "Akan memengaruhi kalau dalam jangka waktu panjang."