Jika Terjadi "Perang" Saudara

By nova.id, Selasa, 12 Juli 2011 | 06:01 WIB
Jika Terjadi Perang Saudara (nova.id)

3 Tak Perlu Jadi WasitBagaimana cara Anda menengahi "baku-pukul" antara anak-anak Anda? Ingat, selama tak ada aksi bullying, tak perlu menjadi penengah atau wasit yang menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Pun jangan memvonis salah satu anak sebagai provokator. Katakan saja, "Kalian harus belajar untuk tidak saling menyakiti. Kalau tetap melakukannya, maka Mama akan memberi kalian hukuman."

Contoh hukumannya misalnya mengambil video games, peralatan elektronik, atau HP mereka. Pokoknya, benda-benda yang bagi mereka penting dan sering dipakai atau dimainkan di waktu senggang. Nah, ketika piranti mainan mereka kita ambil, maka mereka pasti akan kebingungan menghabiskan waktu luang. Ingat, anak-anak sangat doyan main video games atau mainan kesayangan mereka. Lama-lama, mereka pasti akan berpikir ulang untuk berantem dengan saudaranya, karena itu artinya mereka tidak bisa lagi bermain video games.

4 Buang Rasa IriJika salah satu anak Anda sakit hati atau iri pada saudaranya, Anda harus membantu meredakannya. Namun, jangan terlalu menganggap besar masalah tersebut. Anggap saja itu sebagai masalah kecil. Katakan saja, "Itu biasa, kok, Mama pun pernah merasa iri. Kakakmu barangkali jago main bola, tapi Adik kan, jago berenang?" Cobalah untuk selalu menekankan kelebihan anak. Sebut hal-hal nyata yang Anda lihat dan dengar dari anak-anak Anda, dan biarkan mereka tahu bahwa buat Anda, mereka adalah hal terpenting.  

Akan tetapi, jika seorang anak terlihat iri dan merasa ia menjadi korban, Anda sebaiknya memberi perhatian lebih, tak peduli apakah ia yang lebih sering mengganggu duluan atau sebaliknya. Tapi, jangan juga terlalu over memberi perhatian, karena itu hanya akan membuat anak mempunyai pembenaran atas posisinya sebagai korban. Anak akan merasa Anda menghargai dia sebagai korban. Cukup tunjukkan bahwa Anda peduli padanya, karena kepedulian dan perhatian, sekecil apapun, merupakan media efektif untuk mendongkrak rasa percaya diri anak. Dan, semakin anak merasa percaya diri, maka mereka akan merasa dipahami dan terpenuhi kebutuhannya.

 Hasto Prianggoro/berbagai sumber