Manfaatkan Sekeliling Kita Sebagai Sumber Belajar

By nova.id, Kamis, 7 Juli 2011 | 05:01 WIB
Manfaatkan Sekeliling Kita Sebagai Sumber Belajar (nova.id)

Kita wajib membantu kelancaran proses pembelajaran anak di "sekolah"nya. Apalagi, begitu banyak sumber belajar di sekeliling kita yang bisa dimanfaatkan.

Yang dimaksud sumber belajar adalah segala macam sarana dan prasarana yang bisa didapatkan di lingkungan dan memberikan pengetahuan/informasi/konsep pada anak. "Jadi, sumber belajar itu luas sekali. Bisa berarti situasi dari keadaan, benda, gambar alat mainan, serta semua peralatan yang bisa didapat di segala tempat, baik pantai, gunung, toko, dan lainnya," terang Anggani Soedono, MA, pakar pendidikan dan penulis buku Sumber Belajar dan Alat Permainan untuk Pendidikan Usia Dini.

KENALI CIRI KHAS ANAK

Namun, sebelum memanfaatkan sumber belajar, kita perlu mengenali dulu ciri-ciri khas anak usia 4-5 tahun. Ketika bermain, misal, mereka sebenarnya tak mempersoalkan jenis mainannya. Ambil contoh kotak mi instan, bisa ditarik-tarik dengan tali menjadi sebuah "mobil". "Itu sudah merupakan sebuah kegiatan yang menyenangkan baginya," ujar Anggani.

Sayang, sering kita tak menyadari hal ini hingga "mainan" kesayangan si kecil dibuang karena dianggap sampah. "Ini pandangan keliru, lo, karena pada umur-umur ini, anak suka sekali 'menyampah', entah berupa tali-tali, gelang karet atau kertas bekas, semuanya dikumpulkan." Meski, kegemarannya mengumpulkan suatu barang karena sebelumnya ia pernah melihat model. Mungkin si ayah atau ibu pernah membuat sesuatu dengan barang-barang itu, misal, karet, hingga anak merasa, "Aku juga mau main dengan karet, jadi aku simpan, ah."

Dari segi bahasa, lanjut Anggani, anak prasekolah juga punya ciri, yaitu butuh bahasa yang utuh disertai fungsinya. Misal, "O, Kakak sedang minum susu di gelas, ya?" Jadi, jangan hanya mengatakan, "Kak, itu namanya gelas," tapi terangkan lebih lanjut, "Kak, lihat, tuh, di atas meja Bunda ada gelas. Eh, ada buku juga, tas Kakak juga ada di meja!" Dengan demikian anak tahu, di atas meja bukan hanya bisa ditaruh gelas, tapi juga benda lain.

Namun, dalam memberikan informasi harus secara fun artinya tanpa paksaan dan kita pun harus menunjukkan antusiasme, hingga menular pada anak dan tercipta proses pembelajaran yang menyenangkan. "Bila orang tua tak menunjukkan antusiasme, anak pun akan cuek. Ia akan menganggap, tak ada sesuatu yang menarik dari tepung terigu, misal. Namun bila kita katakan 'Wah, tepung ini bisa Bunda buat pie. Kakak ingat enggak ketika makan pie. Enak, ya?', misal."

DAPUR DAN RUANG KELUARGA

Soal tempat yang bisa dijadikan sumber belajar, lanjut Anggani, tak perlu jauh-jauh. Dapur pun bisa. Misal, kita mengenalkan nama-nama bumbu-bumbu dapur sambil mengatakan, kebanyakan tanaman bumbu dapur dapat juga digunakan sebagai apotik hidup, lalu biarkan anak mencium lengkuas, kunyit, kunci, jahe, daun jeruk purut, daun salam, sereh, dan sebagainya. Dengan begitu ia menyadari, di sekelilingnya banyak aneka tanaman yang sangat bermanfaat. Seluruh pancaindranya pun bekerja aktif kala ia mengamati aneka bumbu dapur itu.

Ruang keluarga pun bisa dijadikan tempat sumber belajar. Misal, "Ini, lo, Kak, yang namanya komputer. Yang kayak TV ini namanya monitor. Nah,yang banyak tombolnya ini namanya keyboard." Jangan anggap istilah-istilah tersebut masih terlalu tinggi untuk anak karena di usia 4-5 tahun harus sudah dikenalkan dengan itu semua. Jadi, jangan menunda-nunda untuk mengenalkan kosa kata semisal, "Ah, itu, kan masih susah dimengerti, nanti saja kalau dia sudah masuk SD." Justru akan lebih baik bila tak dibatasi.

Menurut Wakil Koordinator Badan Pembina Akademik Perguruan Islam Al-Izhar ini, salah besar bila menganggap anak TK belum waktunya diajarkan macam-macam. Justru anggapan ini hanya membuat pengetahuan anak jadi serba terbatas. Misal, "Bunda, ini... ini..., kok, lampunya hidup terus?" Padahal, yang ia maksud, "Kok, layar monitor komputernya hidup terus," tapi ia tak bisa mengutarakannya dengan kata-kata yang tepat.

DI LUAR RUMAH

Bila di dalam rumah saja sudah kaya akan sumber belajar, apalagi di luar rumah. Pendek kata, di setiap tempat dengan kegiatan apa pun, bisa digunakan sebagai sumber belajar. Tetangga sebelah rumah atau si bapak RT, juga bisa digunakan sebagai sumber belajar. Begitu pun ibu penjual sayur, mbok pemilik warung, atau tante dokter.

Akan lebih baik bila kita juga bertindak sebagai fasilitator. Misal, "Kak, kasihan, ya, Mbok itu dengan 3 orang anaknya hanya tinggal di warung yang sebesar kamar Kakak. Bagaimana, ya, rasanya menurut Kakak?" Dengan begitu ia juga belajar memikirkan masyarakat lain yang berbeda dengannya.

Manfaatkan pula kegiatan yang sering dilakukan. Kala berlibur ke pantai, misal, bukankah kita bersama si kecil bisa mencari berbagai jenis binatang yang hidup di sekitar situ? "Kak, ini binatang yang hidup di pasir. Yang ini binatang yang hidupnya selalu di air, dan yang itu bisa hidup di darat maupun di air," misal. Atau, kita bisa mengumpulkan kerang atau batu-batuan yang ada di sana.

Jika ayah sedang ke bengkel pun, si kecil juga bisa ikut, lo. Di sana pasti ia menemukan banyak pertanyaan yang menggugah rasa ingin tahunya. "Apa saja, sih, yang dikerjakan montir di bengkel?" atau "Ayah, kenapa, sih, orang itu tiduran di kolong mobil, terus ngapain dia, kok, keluar-masuk?" Dengan begitu, ia tahu apa saja yang bisa dikerjakan montir. Malah, mungkin ia juga mengerti istilah-istilah yang biasa digunakan di bengkel seperti spooring atau balancing. Jadi, anak sudah knowledgeable. Mungkin saja dari situ, ia lantas senang utak-atik mobil, hingga setelah besar jadi montir kenamaan atau pembalap mobil. Bisa juga, ia jadi seorang ahli hukum yang sekaligus memiliki auto shop. Ini, kan, merupakan nilai lebihnya. "Mungkin awalnya, ketika melihat anak bermain, kita tak menyangka 'Ah, mana bisa dia mengerti mesin, wong, dia masih kecil'. Tapi jangan lupa, semua itu memerlukan waktu. Kalau minat dan model yang diberikan baik, tak menutup kemungkinan pengetahuan si kecil pun akan berkembang menjadi baik."

Tempat lain yang baik sebagai sumber belajar adalah pasar swalayan. Di sini anak dapat belajar klasifikasi berbagai jenis makanan dan benda-benda lain, misal, sayuran, buah, daging hingga bumbu dapur. Ia pun bisa belajar tentang matematika. "Kak, besok Rara dan Adit mau datang ke rumah, jadi kita perlu cokelat berapa buah, ya?", misal. Jadi, gunakan dengan baik kesempatan setiap pergi ke swalayan untuk pembelajaran ini. Manfaat lainnya, menjaga agar anak tak lari kemana-mana. Tentunya, ciptakan kondisi hingga anak tertarik, misal, anak didorong dalam kereta, "Pelan-pelan saja, ya, Kak, soalnya Bunda mau melihat sayuran apa saja yang bisa dibeli. Kakak bantu, ya, dengan menyebut nama sayuran yang Kakak lihat. Nah, kalau Kakak enggak tahu namanya, bilang ke Bunda, nanti kita cari tahu bersama namanya."

Tentu kita tak harus terus-menerus memberi informasi jika si kecil sudah tahu nama sayuran, cukup yang kita pikir ia belum mengetahui. "Kak, ini sayur juga, lo, walaupun warnanya ungu kayak buah. Namanya terong. Nah, sayur yang ini namanya apa, ya? Mama juga enggak tahu, coba kita baca, oh ternyata squash, agak susah, ya, ngomongnya?" Agar bahasa yang kita gunakan lebih bermakna, kita pun bisa mengaitkan sayuran tadi dengan hal lain, misal, "Kak, kalau kita buat sayur terong, pasti Nenek senang banget, karena sayur terong, kan, kesenangan Nenek."

Ternyata, kita tak perlu repot-repot untuk menyediakan sumber belajar buat si kecil, ya, Bu-Pak? Karena semua yang ada di sekitar kita bisa dimanfaatkan.

 Mengenalkan Abjad

Menurut Anggani, anak usia prasekolah bisa mulai dikenalkan dengan abjad, asal caranya tepat. Cara lama seperti menggunakan ba-bi-bu-be-bo, atau ini huruf A, ini B, ini C, dan seterusnya, sudah tak digunakan lagi. Sarannya, gunakan gambar yang memiliki huruf depan sama. Misal, kita ingin mengenalkan huruf B, ambil saja gambar baju, ban, bangku, dan benda lain berawalan huruf B, lalu katakan, "Lihat, deh, Kak, semua benda-benda ini berawalan huruf yang sama, yaitu B."

Nah, dari membaca biasanya akan dilanjutkan dengan belajar menulis. Awalnya, si kecil pasti corat-coret dengan gerakan menulis, tapi akan bilang, "Bunda, aku sedang menulis, nih!" Jika ia melakukan hal demikian, orang tua harus mendukung dan tak mengecilkan hatinya. Jadi, katakan, "O, ya, Kakak sedang menulis, ya?" Akan lebih baik lagi sediakan sarana, seperti kertas (bekas) dan media lain semisal spidol, cap, pinsil, dan lainnya. Dengan menggunakan beberapa media, anak bisa leluasa mengekspresikan diri.

Salah satu kegiatan lain yang amat digemari si kecil adalah menggambar. Coba jadikan menggambar sebagai kegiatan sehari-hari, jadi tak ada alasan lagi si kecil merasa dirinya tak bisa menggambar. Salah satu caranya, ajak ia mengekspresikan apa yang dilihatnya sehari-hari dengan menggambar. Ingat, lo, si kecil tak perlu dibantu. Bila sudah selesai, tak perlu membetulkan gambarnya tapi pujilah seperti apa pun hasilnya. 

Menggunting Dan Menempel

Salah satu aktivitas pembelajaran di TK ialah menggunting dan menempel. Menurut Sherly Saragih Turnip, Psi. dari Klinik Anakku, sejak anak usia 3 tahun, aktivitas ini bisa dilakukan tapi biasanya baru mulai dilakukan anak kala usianya 4 tahun. Jadi, kita tak bisa mengharuskan anak usia 4 tahun sudah bisa menggunting dan menempel, sebab sangat tergantung dari latihan motorik halusnya saat usianya masih batita. Pasalnya, yang utama dari aktivitas ini adalah kemampuan motorik halus. Jadi, bila motorik halusnya sudah terlatih baik, kala belajar menggunting dan menempel, si kecil akan lebih cepat menguasai dibanding anak yang selagi batita tak terlatih motorik halusnya.

Sediakan gunting khusus untuk anak, jadi aman buat anak. Biasanya dibuat dengan aneka bentuk menarik seperti kucing, kelinci, ataupun burung. Awalnya, biasakan dulu si kecil dengan kerja mekanik gunting, baru kemudian diberi contoh dengan menggunting sesuatu. Mula-mula, biarkan ia menggunting secara sembarangan (tanpa terarah), karena yang terpenting ia bisa melakukan aktivitas menggunting dan terbiasa dengan alat itu. Media yang digunting pun sebaiknya yang mudah dulu semisal kertas. Setelah lancar menggunakan gunting, terutama untuk anak usia 5 tahun, barulah diajarkan menggunting terarah, entah menggunting bentuk suatu benda atau menggunting pola binatang. Dari sini anak pun dilatih kemampuan kognisinya. Bukankah saat menggunting, ia sambil berpikir bagaimana caranya agar bisa menggunting sesuai pola atau garis yang ada di atas kertas?

Namun, kita tetap harus mendampingi sekalipun si kecil sudah "mahir" menggunting. Soalnya, gunting adalah benda tajam yang bisa melukai anak jika cara penggunaannya tak tepat.

Sambil melatih mengunting, kita bisa sekaligus mengajarkan menempel apa yang diguntingnya. Selain mengasah keterampilan motorik halusnya, anak pun dibangkitkan sisi estetikanya. Misal, kita ajarkan menghias cangkir atau menghias bukunya dengan tempelan-tempelan. Malah jika bakat estetikanya sudah muncul, ia akan punya pendapat dan keinginan sendiri gambar apa saja yang akan ditempelnya, hingga tak jarang ia akan protes, "Bu, enggak bagus kalau warna ungu dikasih tempelan bunga warna hijau," misal.

Seperti menggunting, dalam menempel pun kita harus tetap mendampinginya, karena lem yang digunakan adalah bahan kimiawi yang sangat berbahaya. Ajarkan pula untuk mencuci tangan dengan sabun setelah menempel dan jelaskan mengapa ia harus melakukannya. Dengan begitu, ia memperoleh kosa kata dan pemahaman baru, "O, kalau lem itu bahan kimia. Bahan kimia itu beracun. Jadi, enggak boleh masuk ke mulut. Nanti aku bisa sakit," misal.

Manfaat lain dari kita selalu mendampingi kala anak menggunting dan menempel adalah mempererat hubungan dan kominikasi dengan anak, sekaligus melatih kesabaran anak. Bukankah dalam melakukan aktivitas ini anak dituntut kesabaran cukup tinggi?

  Faras Handayani/nakita