Jika Anak Terlalu Sensitif

By nova.id, Jumat, 24 Juni 2011 | 23:09 WIB
Jika Anak Terlalu Sensitif (nova.id)

Jika Anak Terlalu Sensitif (nova.id)

"Foto: Aries Tanjung "

Sejak balita, Fafa, anak pertama Nina, terlihat dan dirasa amat sensitif. Misalnya, kata Nina, saat kaki pembantunya terantuk batu saja, Fafa langsung menangis dan terlihat cemas saat menanyakan apakah pengasuhnya itu kesakitan dan berdarah. Padahal Si Mbak tidak menganggap masalah kakinya yang terantuk batu sebagai sesuatu yang berat.

Anak yang memliki kepekaan yang lebih tinggi dibandingkan anak lain, menurut psikolog Sani B Hermawan, Psi., Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, adalah anak hypersensitive. "Kepekaan ini bisa ditujukan pada diri sendiri ataupun pada orang lain. Misalnya seorang anak bisa merasakan kesedihan temannya ketika barang miliki teman tersebut hilang (kepekaan ke luar), atau anak yang mudah tersinggung ketika ia diisengi temannya (kepekaan ke dalam)," jelas Sani lebih lanjut.

Sebenarnya, anak yang memiliki kepekaan tidak selalu bersifat negatif asalkan dikelola dengan baik. Bahkan, menurut Sani, karakter ini bisa menjadi aset yang berharga untuk meningkatkan kecerdasan emosi (EQ). Misalnya, memiliki sifat empati, mudah menolong, peka terhadap masukan, menumbuhkan sikap solidaritas di antara sesama. "Permasalahannya adalah apabila kepekaan ini tidak dikelola dengan baik maka akan menjadi hambatan dalam pembentukan kepribadian ataupun bermasalah dalam berinteraksi secara sosial."

Lingkungan atau Bawaan

Penyebab seorang anak bisa hypersensitive berasal dari kombinasi antara faktor bawaan dan faktor lingkungan. Intinya, setiap anak yang lahir memiliki "kecenderungan" bawaan masing-masing.

Walaupun sebenarnya hal ini belum bisa dibuktikan secara empiris, pada beberapa kasus terungkap bahwa nuansa atau atmosfer anak ketika berada di dalam kandungan dapat berpengaruh pada karakter anak kelak. Misalnya, anak yang semasa kandungan mendapatkan cukup stimulasi dan attachment (keterikatan, Red.) akan tumbuh menjadi karakter yang lebih tenang dan kokoh, dibandingkan calon bayi yang orangtuanya memiliki masalah psikologis (kekhawatiran, kecemasan, konflik, rasa sedih).

Faktor lingkungan, tambah Sani, juga berpengaruh besar dalam membentuk karakter anak. Misalnya pola asuh yang otoriter, orangtua pencemas, perpisahan atau perceraian, ketidakpastian situasi merupakan salah satu penyebab anak menjadi hypersensitive.

Olah Secara Positif

Untuk mengubah karakter anak secara positif, tentu yang perlu diperbaiki adalah lingkungannya. Pola asuh yang demokratis, mau mendengarkan pendapat anak, tidak judgmental (menghakimi, Red.) dan win win solution (adil, Red.), bisa menjadikan anak lebih rileks dan tidak tertekan.

Orangtua juga harus menjadi role model yang baik, sebab sikap dan perilakunya akan ditiru anak. Orangtua yang overprotective, mudah cemas atau panik, akan membuat anak dinaungi rasa takut, rasa cemas dan mudah tersinggung. Sekali lagi, "Orangtua harus mampu membangun kepercayaan anak pada lingkungan, dan tidak membohongi anak. Hindari cara-cara yang bisa mempermalukan anak di depan orang banyak. Berilah ruang pada anak untuk mengekspresikan emosinya secara bebas dan terarah. Bantulah mengendalikan emosi anak secara konstruktif. Misalnya melakukan relaksasi, menyalurkan hobi, kegiatan bermanfaat lainnya."

Jika anak dijahili oleh temannya di sekolahnya, maka orangtua perlu memberikan cara penanggulangannya. Misalnya, mengatakan keberatan anak pada temannya tersebut secara serius, "Saya tidak suka jika barang saya disembunyikan."