Jadi, bukan salah anak kalau ia suka bohong, mencuri, berkata buruk, dan sederet perbuatan antisosial lainnya, tapi lantaran orang tua yang tak mendidiknya dengan benar.
Ibu-Bapak, waspadalah! Jika si prasekolah menarik diri dari lingkungan, tak kenal siapa pun, tak ramah pada orang lain, selalu menyendiri, akan menyerang jika ada orang yang ingin menjalin kontak dengan dirinya, bahkan sampai masuk kolong meja hanya untuk menjauhi lingkungan, berarti ia telah masuk fase anti sosial yang kronis. "Ia sudah ada kecenderungan kehilangan kontak dengan realitas. Ia hanya bergaul dan bermain dengan teman khayalnya, serta tak welcome terhadap orang lain," bilang Dian Kun Prasasti, Psi.
Bukan cuma itu, jika si kecil tak merasa bersalah sedikit pun padahal ia telah melakukan perbuatan antisosial, yang bukan saja menyakiti tapi juga merugikan orang lain seperti mencuri, menjahili, berkata buruk, dan sebagainya, maka ia juga masuk dalam fase kronis ini. Menurut Sasti, sapaan akrab psikolog pada Aditya Medical Centre Psychological Clinic ini, anak-anak seperti ini justru merasa puas dengan bisa melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.
CEGAH SEBELUM KRONIS
Masih ada lagi yang masuk kategori antisosial, yaitu anak yang temper tantrum, suka membangkang terhadap orang tua, suka mencuri, berkata buruk, berbohong, serta berbuat curang. "Namun tahap ini belumlah parah, hingga masih bisa dicegah agar tak mencapai tahap yang kronis," kata Sasti.
Tentunya pencegahan hanya bisa dilakukan dengan peran serta orang tua. "Orang tua harus sigap dan peduli serta mengetahui gejala anak sejak dini." Tak kalah penting, orang tua pun harus sadar, kontribusi terbesar datangnya dari orang tua. "Bukankah lingkungan pertama seorang anak adalah keluarga? Sementara yang kedua adalah kelompok bermainnya atau yang biasa disebut lingkungan luar rumah."
Sayangnya, papar Sasti, kebanyakan orang tua yang mempunyai anak antisosial tak mau mengakuinya. "Malah kecenderungan orang tua sekarang ini menyerahkan anak yang antisosial sepenuhnya kepada psikolog." Padahal, tegasnya, itu salah besar! Psikolog hanya bisa mendeteksi dari luar, tak sampai menyelami kehidupan anak sehari-harinya. Lain dengan orang tua yang setiap hari bertemu dan "bergumul" dengan anak. Di samping juga sebagai orang yang paling berarti bagi anak. "Lain soal jika si psikolog mau terjun dan menyelami hingga kehidupan sehari-hari anak di rumah."
SALAH POLA ASUH
Lebih jauh dijelaskan Sasti, anak menjadi antisosial, biasanya karena mengalami konflik dengan lingkungan. "Ia tak bisa berespon sesuai harapan dan tuntutan sosial masyarakat terhadap dirinya."
Umumnya, anak antisosial berasal dari keluarga brokenhome. Soalnya, tutur Sasti, anak terbentuk sedemikian rupa dari pola asuh orang tuanya. Misal, orang tua yang tak pernah mengajarkan penanaman norma atau kerap memberi contoh tak baik, tak ayal anak nantinya akan berperilaku tak baik juga: suka bohong, pembangkang, atau berbuat curang.
Tak hanya itu, orang tua yang menetapkan target tinggi untuk anak atau terlalu perfeksionis: ingin anaknya serba sempurna dalam segala bidang, entah pelajaran, keterampilan, ataupun kemampuan lainnya; pokoknya, ia harus jadi pemenang dan yang paling unggul di sekolahnya, misal, juga akan membentuk anti- sosial.
Pasalnya, anak yang dididik seperti itu akan merasa tertekan dan frustrasi. "Anak, kan, manusia biasa juga yang punya perasaan dan keinginan. Hingga, ia pun sewaktu-waktu akan berontak dari tekanan yang diperolehnya. Nah, pemberontakan itulah yang menjadikannya anak pendiam, pemarah, pendendam, suka membangkang, temper tantrum yang jika dibiarkan berlarut-larut akan semakin parah, hingga menjadikannya antisosial yang kronis.
Sebab lain, pola asuh yang sangat permisif, yaitu penanaman disiplin yang sangat minim. Misal, semua kemauan anak selalu dipenuhi, hingga anak pun belajar memegang kendali. "Ia akan selalu berusaha agar keinginannya selalu terpenuhi, temper tantrum, dan pembangkang," lanjut psikolog yang juga guru musik ini.
Pun demikian bila orang tua menerapkan pola asuh yang tak konsisten, kadang permisif, kadang otoriter, bisa "melatih" anak jadi antisosial. "Katanya terserah aku saja, aku yang menentukan, tapi, kok, sekarang harus gimana kata Bunda, sih!", misal. Hal ini malah bisa berakibat, timbul ide aneh pada si anak, seperti, "Sekarang aku nurut saja dulu, besok-besok pasti Bunda yang akan nuruti aku. Dengan demikian, aku bisa berbuat sesukaku."
Satu lagi, menurut Sasti, jika orang tua tak memperhatikan kebutuhan anak, seperti makanan, mainan, baju atau keperluan "sekolah"nya juga bisa menjadikan anak antisosial, yaitu ia akan mencuri barang milik orang lain. "Sekalipun maksud si anak itu adalah meminjam, tapi jika meminjamnya tak permisi dulu, pasti orang akan menuduh dia pencuri."
Terlebih bila orang tuanya enggak care atau tak pernah memberikan penanaman nilai-nilai kebaikan pada anak. Misal, mengajarkan anak bahwa mengambil diam-diam itu sebagai perbuatan tak baik, begitupun menyakiti makhluk hidup, entah hewan, tumbuhan, maupun manusia, atau ingin menang sendiri sebagai perbuatan egois.
MENIRU ORANG TUA
Jadi, anak suka membangkang, berkata kasar, temper tantrum, berbohong, ataupun perbuatan antisosial lainnya, terang Sasti, jangan pernah lupa, sumbernya dari orang tua. "Bagaimanapun, tokoh sentral anak tetap si orang tua, hingga orang tua menjadi modelling bagi anak."
Namanya anak balita, tentu kemampuan kognitifnya masih terbatas, hingga ia pun meniru mentah-mentah apa yang dilihatnya dari si tokoh sentral. Misal, bila ibu sering berpesan pada anak untuk mengatakan tak ada pada orang yang meneleponnya, maka sama saja si ibu memberi contoh yang tak sepatutnya diketahui anak. Demikian pula bila si ibu selalu berkata kasar pada pembantu, misal, jangan heran bila akhirnya anak pun selalu berkata kasar pada orang lain, termasuk pada orang tuanya.
Jadi, disengaja atau tidak, perbuatan kita sebagai orang tua akan terekam pada memori anak. "Jangan heran bila si Upik dan si Buyung akan meniru perbuatan yang selalu marah-marah pada pembantu, memukul binatang, ataupun bertengkar dengan teman-temannya karena ia selalu melihat bapak-ibunya bertengkar."
Ini berarti, perilaku antisosial bukan faktor gen atau keturunan, melainkan faktor pembelajaraan anak terhadap lingkungan. Terbukti, sekalipun si anak lahir dari ayah-ibu yang kriminal, misal, tapi bila ia dididik dan diasuh tak menjadi kriminal seperti kedua orang tuanya, melainkan ditanamkan nilai-nilai kebaikan, agama, juga dibesarkan di lingkungan yang baik, bisa dipastikan ia takkan seperti ayah- ibunya. Sebaliknya, walau anak dilahirkan dari orang tua baik-baik, tapi jika dididik di lingkungan yang tak baik dan tak ada penanaman nilai-nilai kebaikan dari orang tua, bisa dipastikan akan terbentuk jadi anak antisosial.
BUATLAH LINGKUNGAN YANG BAIK
Dengan demikian, tak ada cara yang paling tepat untuk mencegah anak jadi antisosial, kecuali dengan membentuk atau me-manage lingkungan sebaik mungkin, terutama lingkungan yang paling significant, yaitu keluarga. "Ingat, lo, mencegah jauh lebih baik daripada mengobati," ujar Sasti.
Sebenarnya, nggak susah-susah amat, kok, membuat lingkungan yang baik. "Terapkan saja pola asuh yang konsisten, serta hindari penerapan pola asuh antar kutub permisif dan otoriter." Selain itu, jangan sekali-kali cekcok di depan anak, agar jangan sampai anak punya anggapan bahwa setiap persoalan harus diselesaikan dengan pertengkaran.
Tentu tak boleh dilupakan pula untuk selalu menjaga sikap dan perilaku sehari-hari hingga dapat memberi contoh yang baik pada anak. "Berikan pula masukan pada anak mengenai nilai-nilai kebaikan, dan nasihat atau pengertian pada anak jika dia melakukan kekhilafan." Menurut Sasti, ketiga hal inilah yang merupakan cara terbaik dalam mendidik anak supaya ia tak jadi anak antisosial. "Malah bisa jadi ia akan menjadi orang yang penurut, berbakti, care terhadap lingkungan, dan menjadi panutan bagi teman-temannya."
Harus diingat pula, bukan hanya orang tua yang memegang peranan sangat penting dalam membentuk anak agar tak jadi antisosial. "Sekolah pun turut berperan serta." Untuk itulah, kata Sasti, dibutuhkan kerja sama antara orang tua dengan pihak sekolah. "Orang tua harus sering bertanya dan sharing perihal anaknya kepada pihak sekolah. Pun sebaliknya. Jadi, apa yang diterapkan di rumah kiranya berlaku seiring dengan yang diterapkan di sekolah."
PENANGANAN UNTUK SI ANTISOSIAL
Seandainya si prasekolah kita telah kadung menjadi anak anti- sosial, saran Sasti, jangan buru-buru panik dan jangan pula langsung menyerahkan anak kepada psikolog. Soalnya, untuk menyembuhkan anak, orang tua terlebih dulu harus sadar bahwa dialah yang membuat si anak seperti itu. "Bila kita sebagai orang tua sadar akan kekhilafan yang diperbuat, barulah penanganan anak bisa dilakukan. Asal sabar, telaten, dan konsisten, anak bisa, kok, disembuhkan."
Jadi, anjur Sasti, bersikaplah tenang dalam menghadapi anak antisosial, lalu berilah pengertian akan perilakunya, dan jangan lupa kasih contoh dari orang tua. Jika si kecil belum juga berubah, lakukan pengabaian, yaitu jangan perhatikan perilaku anak atau pura-pura cuek. Dengan begitu anak akan merasa perbuatannya sia-sia, karena tak berhasil menarik perhatian orang tua. Lambat laun ia pun akan menuruti apa keinginan orang tua.
Jika anak menunjukkan gelagat perubahan, jangan lupa, ingat Sasti, berikan konsekuensi positif padanya seperti hadiah atau pujian. "Pujian tulus orang tua lebih bermakna buat anak ketimbang hadiah." Namun bila ia tak juga memberikan tanda adanya perubahan seperti yang kita harapkan, kita harus memberikan konsekuensi negatif yang tak mengenakkan anak, seperti dilarang main playstation hingga ia bisa mengubah perilakunya.
Jika antisosialnya sudah sampai tahap paling kronis, langkah yang terbaik mintalah bantuan psikolog. "Namun itu pun harus ada kerja sama antara psikolog dan orang tua. Jadi, jangan melepaskan begitu saja tanpa adanya kepedulian orang tua," tandas Sasti.
Gazali Solahuddin/nakita