Ogah Mandi Dan Keramas

By nova.id, Kamis, 2 Juni 2011 | 23:36 WIB
Ogah Mandi Dan Keramas (nova.id)

Si kecil bisa menjadi bahan ejekan teman-temannya atau malah dikucilkan. Siapa, sih, yang betah dekat-dekat dengan orang yang tak pernah mandi dan keramas?

Menjengkelkan, ya, Bu-Pak, menghadapi si kecil yang ogah mandi atau keramas. Sampai-sampai, tiap kali tiba acara mandi/keramas, kita harus "adu urat" dulu dengannya. Padahal, harusnya kita malu, lo, sama diri sendiri. Soalnya, keengganan mandi/keramas pada si kecil, hampir bisa dipastikan lantaran salah kita juga.

Jangan lupa, aktivitas mandi/keramas merupakan bagian dari toilet training. Artinya, latihan ke toilet bukan melulu latihan BAK dan BAB di tempatnya, tapi juga termasuk membersihkan badan seperti mandi dan keramas. Biasanya, latihan ke toilet sudah bisa dimulai sejak si kecil usia batita. Hingga, jika di usia prasekolah si Upik atau Buyung masih kerap enggan mandi dan keramas, menurut M. Elisabeth Arman, Psi., pertanda toilet training-nya di masa batita tak berhasil alias gagal.

"Kegagalan ini bisa dikarenakan suasananya tak menyenangkan saat anak dimandikan atau dikeramasi. Anak merasa aktivitas mandi atau keramas sebagai aktivitas yang membosankan dan tak menyenangkan. Akibatnya, ia jadi malas untuk melakukannya lagi," tutur Lisa, sapaan akrab psikolog pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini.

TRAUMA

Itulah mengapa, tekan Lisa,latihan ke toilet harus dilakukan dengan cara yang benar. "Ciptakan suasana yang membuat anak bahagia melakukannya." Caranya, lakukan sambil bercerita, bermain-main, bercanda, atau dengan mengikutsertakan mainan kesayangannya. Misal, "Nah, sambil Bunda mandiin kamu, kamu bisa mandiin si Pooh. Caranya seperti Bunda, nih, ambil air di gayung, lalu siramkan ke badan Pooh."

Bila aktivitas mandi/keramas dilakukan dengan cara-cara yang menyenangkan dan mengenakkan anak, Lisa yakin, anak pun akan senang melakukannya. Untuk selanjutnya, tanpa disuruh sampai dua kali, dengan senang hati ia mau mandi ataupun keramas. Ingat, ujarnya, prinsip anak balita adalah pain and pleasure. Bila anak merasa sakit atau kesakitan (pain) karena sesuatu hal, ia akan menangis. Namun bila ia merasa nyaman atau menyenangkan (pleasure), ia akan gembira yang kerap ditandai dengan tertawa dan minta kepada kita untuk melakukan hal itu lagi.

Jadi, secara otomatis anak akan selalu mencari dan menyukai yang pleasure. "Hal ini berlaku juga saat toilet training. Jika pada pengalaman pertama toilet training anak merasa pain, ia pun jadi takut untuk melakukannya lagi." Misal, kala udara dingin, kita memandikannya dengan air dingin, tentu si kecil tak merasa nyaman. Hingga, ketika tiba saatnya ia harus bisa mandi sendiri tanpa bantuan orang lain, yaitu di usia 4 tahun, ia takut mandi karena sudah trauma duluan. Begitu pun bila saat dikeramasi, sampo mengenai matanya hingga terasa pedih, ia takkan mau lagi keramas karena takut terkena matanya.

TERLALU DIMANJA

Masih soal toilet training, lanjut Lisa, anak yang terlalu dimanja atau diladeni segala sesuatunya, juga membuatnya jadi enggan mandi/keramas. "Ia terbiasa selalu dilayani, entah disiapkan perlengkapan mandinya ataupun dimandikan, hingga kala ia tak dimandikan atau tak diladeni, ia pun ogah melakukannya sendiri."

Dengan kata lain, orang tua tak pernah melatihnya toilet training. Hingga, ketika tiba saatnya ia telah menginjak usia 4 tahun dimana seharusnya ia sudah familiar dengan aktivitas mandi/keramas sendiri, ia malah tak terbiasa melakukannya. "Ia tak mau melakukannya bila tak dibantu orang lain." Sejuta alasan akan dilontarkannya untuk menolak, sekalipun ia sebenarnya merasa badannya tak enak atau kepalanya sudah gatal lantaran jarang sekali keramas.

Bukan cuma itu, sikap orang tua atau pengasuh yang enggak tegas dan konsisten kala menyuruh anak mandi, juga membuatnya sering menolak.

"Misal, sudah waktunya mandi, tapi anak menawar karena lagi asyik-asyiknya nonton TV dan kita menurutinya." Sikap ini, menurut Lisa, sama saja mendidiknya terbiasa menunda-nunda kewajibannya. Padahal, bila kebiasaan ini berlanjut, akan susah, lo, mengubahnya.

Sebab lain, si kecil ogah mandi/keramas karena ada aktivitas yang terhambat gara-gara mandi/keramas. "Bukankah biasanya kalau sudah mandi dan keramas, orang tua akan melarang anak untuk bermain gara-gara takut kotor kembali?" Misal, "Sudah, jangan lari-larian lagi, nanti badanmu keringatan lagi. Kamu, kan sudah mandi." Padahal, si kecil masih kepingin main dengan teman-temannya.

DIKUCILKAN TEMAN-TEMAN

Tentu saja, perilaku anak yang ogah mandi/keramas tak boleh dibiarkan terus. Ingat, mandi dan keramas merupakan kewajiban manusia yang akan terus dilakukannya hingga akhir hayat. Lebih dari itu, keengganan mandi/keramas bisa membuat si kecil terkena berbagai penyakit, terutama penyakit kulit.

Bahkan, bilang Lisa, bukan tak mungkin anak akhirnya akan dikucilkan atau dijadikan bahan ledekan oleh teman-temannya. "Nah, ini, kan, bisa mengganggu proses sosialisasinya. Otomatis, akan menggangu pula proses perkembangannya. Kasihan, kan?" Itulah mengapa, sebelum perilaku ini berakar dalam diri si kecil, kita harus mengatasinya sedari dini.

Yang pertama-tama tentunya kita harus cari tahu penyebabnya dulu. "Sebaiknya orang tua koreksi diri." Soalnya, kata Lisa, bisa jadi si kecil ogah mandi/keramas sebagai tanda protes pada orang tua yang selalu memaksakan kehendak, kurang perhatian, atau saat melatihnya ke toilet tak berjalan baik hingga anak mengalami hal-hal traumatis.

Namun dalam mencari tahu penyebabnya ini, tidaklah mudah karena kita perlu menelusurinya satu per satu. "Dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan orang tua." Caranya, menurut Lisa, cuma satu, yaitu rajin melakukan pendekatan dan berkomunikasi secara baik dengan anak.

REWARD DAN HUKUMAN

Jika akar permasalahannya telah diketahui, langkah selanjutnya memperbaiki segala yang tak mengenakan bagi anak. "Bila kita tanpa sengaja melakukan hal-hal yang menyakitkan anak, misal, matanya terkena sampo, tak perlu sungkan untuk minta maaf, 'Maaf, ya, Bunda enggak sengaja. Tapi kalau enggak kena mata, pasti enggak akan terasa perih, kok. Kali ini Bunda janji akan hati-hati dalam menuang samponya.' Dengan begitu, anak pun tak takut lagi untuk mencoba keramas."

Seiring dengan itu, perlahan-lahan memberikan pengertian pada si kecil tentang manfaat membersihkan diri. Bisa juga dengan cara membalikan kepada dirinya. Tentunya, jika ia ogah mandi, badannya akan jadi gatal atau bila ia ogah keramas, rambutnya akan sulit disisir karena kusut hingga tiap kali disisir akan terasa sakit. "Karena pada dasarnya anak selalu mencari sesuatu yang dapat mengenakkan dirinya, tentunya anak pun tak mau jika terjadi hal-hal yang tak mengenakkan pada dirinya."

Nah, bila si kecil telah menunjukkan ada perubahan sikap, jangan pelit untuk memberi reward. "Reward yang paling baik berupa pujian." Misal, 'Wah, anak Bunda sudah cantik dan wangi lagi." Dengan demikian, si kecil akan termotivasi untuk selalu menjalankan kewajibannya itu. Bukankah pada dasarnya anak balita butuh disayang, dipuji, dan diperhatikan orang tuanya?

Sebaliknya, jika ia tak juga berubah meski sudah diberi tahu berkali-kali, menurut Lisa, boleh saja si kecil dihukum. "Tapi hukumannya bukan hukuman fisik, lo. Itu bukan solusi yang baik, malah akan jadi bumerang buat orang tua." Cukup kita buat suasana seolah kita risi bila harus dekat dengannya, hingga si kecil akan berpikir, "Selain teman-teman, ternyata Ayah dan Bunda juga merasa enggak enak dengan aku karena aku belum mandi," misal.

Gazali Solahuddin/nakita