Gen Halilintar, Bahagia Dilamar Sang Idola (2)

By nova.id, Sabtu, 29 Agustus 2015 | 02:01 WIB
Gen Halilintar (Foto: Romy Palar / NOVA) (nova.id)

Lulus SMA, saya mendapat undangan PMDK dari Universitas Indonesia untuk kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Elektro tahun 1987. Sejak SMP, saya memang hobi elektro. Waktu itu, saya sudah bikin radio dan stasiun pemancar sendiri yang siarannya dapat diterima di kompleks Caltex. Guru saya pun datang ke rumah untuk siaran. Belum setahun di UI, otak bisnis saya mulai jalan.

Melihat ada peluang bisnis fotokopi, saya buka jasa fotokopi catatan kuliah atau buku untuk teman-teman. Saya amati mahasiswa UI laris diminta mengajar. Melihat hal ini, saya membuat bimbingan belajar pada 1988-1989. Saya kumpulkan 10 mahasiswa UI dan saya jadi bos mereka. Ha ha ha. Hasilnya cukup besar buat saya yang masih mahasiswa. Setelah itu, saya beli beras, gula, dan lainnya secara grosir dan menjualnya murah ke teman-teman mahasiswa.

Saya kumpulkan uang Rp10 juta dari 10 teman sebagai modal dan tiap orang bebas mengambil barang sampai senilai Rp1 juta di toko yang kemudian saya dirikan. Ternyata, pembelinya makin banyak. Akhirnya saya bikin minimarket yang cukup besar di Jalan Margonda Raya dekat kampus. Hasilnya saya gunakan untuk membuat semacam kantin, percetakan, studio, bahkan klinik gigi dan mengakuisisi salon yang nyaris tutup dan membuatnya berkembang.

Nah, sampai akhirnya saya bisa sukses berbisnis, mama saya lah yang mengajari berjualan. Misalnya, membawa barang-barang dari Dumai yang laku dan tak ada di Jakarta untuk dijual. Sebaliknya, dari Jakarta saya membawa barang yang tidak ada di Dumai dan laku dijual di sana. Begitu pula setelah saya merintis bisnis di Malaysia. Barang Tanah Abang saya jual di Malaysia, dan dari Malaysia saya menjual barang yang tidak ada di Indonesia.

Dulu, mama membawa saya ke Tanah Abang untuk mengambil barang di toko milik saudaranya dengan tempo 1-2 bulan. Mama pula yang mengajari saya untuk membeli barang lagi jika ada uang. Jadi, keuntungan yang didapat berbentuk barang. Itulah pelajaran pertama yang saya dapat dari mama sejak kecil. Sebetulnya, berjualan telah saya lakukan sejak SMP dan makin giat setelah SMA. Saat saya masih kuliah itulah, adik saya mengenalkan Lenggogeni Faruk, yang kelak menjadi istri saya.

Pertemuan Pertama

Januari 1993, Halilintar menikahi Lenggogeni, adik kelasnya di UI. Berikut kisah Lenggogeni.

Saya, Lenggogeni Faruk, lahir dari pasangan Umar Faruk dan Yulfia sebagai anak ke-3 dari 5 bersaudara pada 29 Oktober 1972. Papa dan mama dikaruniai 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan, sedangkan orangtua Abang Halilintar dikaruniai 6 anak, terdiri dari 4 laki-laki dan 2 perempuan.

Jika anak dari kedua keluarga ini dijumlahkan, hasilnya 11 dengan formasi 6 anak laki-laki dan 5 perempuan, persis seperti formasi anak-anak saya dan Abang Halilintar! Papa bekerja sebagai kepala apoteker (chief pharmacist) di Caltex distrik Rumbai, Riau. Sejak kecil hingga remaja, saya sering diajak bepergian papa ke Jakarta atau bahkan keluar negeri. Sejak kecil pula, saya selalu juara kelas, bahkan juara sekolah. Mengikuti papa yang berpindah-pindah tugas ke Amerika, Bethesda, dan Maryland, saya juga pernah bersekolah di sana. Saya juga aktif di bidang seni dan public speaking, antara lain ikut klub tari Kartika Mandra di Caltex, pementasan tari antar distrik, dan belajar alat musik. Saya juga ikut lomba vokal grup, kegiatan pramuka, Paskibra, dan marching band.

Untuk yang terakhir ini, saya sering tampil di Rumbai, Minas, Dumai, dan Duri, bahkan ikut kejuaraan di Jakarta. Tak hanya itu, saya juga gemar baca puisi dan beberapa kali memenangi lomba berbahasa Inggris, yaitu penulisan esai, pidato, dan mengeja. Tahun 1990 ketika saya masih SMA, teman sekelas saya, Tetri Asmid, memperkenalkan saya dan teman-teman pada kakaknya, Bang Halilintar.

Waktu itu, Bang Halilintar sudah kuliah dan tengah pulang ke Dumai. Kami sering mendengar cerita Tetri tentang kekagumannya pada abangnya yang punya segudang prestasi. Maka, ketika abangnya pulang dan mengunjungi Tetri di Rumbai, kami minta dikenalkan. Tak disangka, secara tak disengaja saya mengikuti jejak Bang Halilintar, meski kami baru bertemu sekali dan tak banyak mengobrol.

Tekad Bulat