Maizidah Salas, Metamorfosis Sang TKI Ilegal (1)

By nova.id, Sabtu, 22 Agustus 2015 | 04:27 WIB
Maizidah Salas (Foto: Arizona / Dok NOVA) (nova.id)

Mengapa Anda menjadi TKI?

Ada dua penyebab, ekonomi dan broken heart. Waktu kelas 1 SMA, saya diperkosa senior saya saat mengikuti kegiatan pramuka di sekolah. Saking stresnya, saya tak mau sekolah dengan alasan sakit. Wali kelas datang ke rumah, membujuk saya sekolah lagi. Meski baru kelas satu, saya sudah berprestasi di kejuaraan voli dan MTQ tingkat provinsi. Untuk meringankan pikiran, saya bercerita pada teman sekolah. Ketika saya kembali berani sekolah, teman-teman dan guru mencibir saya. Mereka menyindir apakah kalau sudah tak gadis masih akan laku. (Suara Maizidah bergetar menahan tangis.) Saya makin down dan tak mau sekolah lagi.

Lalu?

Tahun 1992 itu, keluarga saya akhirnya tahu dan meminta si pemerkosa menikahi saya. Namun, menikah dengan dia ternyata pintu neraka kedua bagi saya. Selama menikah, saya selalu disiksa. Kalau sampai siang belum dijambak, dibenturkan di tembok, ditendang, atau diludahi, saya malah bertanya-tanya. Waktu hamil, siksaan tak berhenti, sampai saya berniat bunuh diri. Ketika saya mau loncat, air ketuban pecah dan suami berhenti memukul karena ketakutan.

Setelah anak lahir, dia tidak berubah, bahkan tak pernah menafkahi sampai sekarang. Saya berusaha bertahan untuk tidak minta cerai, meski dia meninggalkan kami 15 bulan tanpa kabar. Suatu hari, saya mendengar kabar dia tinggal di Jakarta bersama perempuan. Saya stres sampai sakit dan dirawat di rumah sakit. Pulang dari rumah sakit, saya merasa harus keluar dari kampung saya di Wonosobo (Jateng) untuk melupakan semua peristiwa pahit dalam hidup.

Mengapa?

Kalau tidak, saya akan terus kepikiran. Ditambah lagi, anak saya juga harus dinafkahi. Saya putuskan jadi TKI ke Korea pada 1996. Modalnya saya utang ke bidan desa. Ketika menelepon kakak saya dari sana enam bulan kemudian, saya dikabari saya sudah dicerai suami karena perempuan yang tinggal bersamanya hamil besar dan minta pertanggungjawaban. Detik itu juga saya merasa menjadi perempuan merdeka. Saya langsung sujud syukur.

Di Korea sendiri, bagaimana kehidupan Anda?

Saya kembali mengalami masalah. Tahun 1998, Korea terkena krisis ekonomi dunia dan kami kena imbasnya. Perusahaan tempat kami bekerja kolaps dan kami dipindah. Beberapa kali pindah kerja dan menganggur, akhirnya kami semua dipulangkan.

Apa yang Anda lakukan kemudian di Wonosobo?

Setahun di rumah saya malah makin stres memikirkan siapa yang akan membiayai anak, status saya yang janda, dan lainnya. Saya minta izin orangtua untuk merantau lagi. Apalagi, utang ke bidan belum lunas. Orangtua mengizinkan dan menjual kebun agar saya bisa berangkat ke Taiwan. Di Jakarta, ketika berangkat tahun 2001 untuk melamar kerja di pabrik di Taiwan, saya ditipu orang dan uang Rp10 juta hasil jual kebun untuk mendaftar hilang.

Karena tak berani pulang, takut dimarahi orangtua, saya pindah ke PJTKI PRT. Waktu itu bayarnya masih murah, hanya Rp1.750.000. Ternyata, saya masuk ke “neraka” berikutnya. Selama tiga bulan di penampungan di Jakarta, saya dan calon TKI lainnya dilarang keluar dan menelepon, tidur pun di ubin tanpa kasur dan bantal. Kami juga disuruh membersihkan kantor PJTKI itu dan memasak.