Nyatanya, sampai di Medan, justru kabar buruk yang didapatnya. Hendra dikatakan sudah meninggal! "Saya langsung disuruh ke RS Adam Malik," kisah Ade yang nyaris limbung begitu mendengar berita duka itu. "Rasanya bumi ini nyaris runtuh. Saya tak bisa berbuat apa-apa lagi."
Pihak RS ternyata sudah membersihkan jenazah Hendra, dikafani, bahkan sudah di dalam peti. "Kami juga dipesan tak perlu membuka kafan dan diminta segera menguburkannya. Minggu pagi, kami bawa jenazah Hendra ke Kisaran."
Pesan tak lazim dari RS, justru membuat keluarga curiga. "Ternyata benar, begitu kain kafan dibuka, wajah Hendra lebam-lebam. Di atas alis mata kiri koyak dan matanya biru, hidung lebam, tulang leher patah, kepala tak bisa diluruskan. Tubuh bagian belakang juga lebam."
Ade menduga Hendra jadi korban penganiayaan seniornya "Saya rasa dia diseret, dipukuli, dan ditendang," kata Ade yang miris saat melihat jenazah anaknya. "Sebagai ibu yang melahirkan Hendra, saya tak tahan melihat pemandangan itu."
Kecurigaan itulah yang membawa keluarga melaporkan masalah ini ke Polda Sumatera Utara. Apalagi, sejak kematian Hendra, beberapa kali senior Hendra bolak-balik mendatangi makam anaknya. "Saya tak terima anak saya meninggal dengan cara tragis seperti itu. Saya minta pelakunya dihukum mati," kata Ade yang berharap pihak kampus juga mau bicara jujur dan tak perlu menutup-nutupi.
"Sejarah" BurukDi mata Ade, Hendra adalah anak yang baik. "Ia selalu mengalah pada adik-adiknya." Prestasi Hendra di sekolah juga bisa dibanggakan. "Sejak SD sampai SMA, ia selalu mendapat ranking."
Ade juga yang mengarahkan Hendra masuk ke ATKP. "Tiga tahun kuliah, bisa langsung kerja. Saya sudah capek kerja. Biarlah dia yang kerja dan bisa membiayai adik-adiknya. Saya rencananya akan buka warung saja di rumah." Apalagi, beberapa taruna ATKP juga lulusan SMA 2 Kisaran. Debbi Shafinaz