Pernah pula, anak-anak muntah di mobil. Farhan yang sakit-sakitan memang suka muntah. Suamiku sangat marah kalau mobilnya dikotori. Muntahan itu diambilnya dengan tangan, lalu ditempelkan ke mulut si anak sambil menyuruh memakannya. Kalau aku protes, Teguh makin marah. Aku merasa tidak berdaya dan tidak punya hak apa pun terhadap anak-anakku.
Karena aku juga bekerja, waktu penuhku bersama anak-anak hanya Sabtu dan Minggu. Namun, aku tidak bisa pergi bersama mereka karena suamiku yang menguasai anak-anak, sementara aku tidak pernah diajak jika mereka pergi. Suamiku lebih memilih mengajak Ida, pembantu kami, ketimbang aku. Pagi-pagi sekali, mereka sudah pergi, entah ke mana, dan baru pulang malam hari.
Sepi sekali rasanya hariku. Kalau aku tanya ke anak-anak mengapa aku tak diajak, mereka menjawab, "Kata Papa, Mama enggak punya uang. Kalau Papa uangnya banyak." Miris rasanya mendengarnya. Anak-anak memang sering diiming-imingi dengan hadiah dan mainan agar mau pergi bersama ayahnya. Yang lebih mengherankan, Ida selalu diajak ke mana pun mereka pergi, tapi tak pernah mau memberitahuku.
Bolos Sekolah
Yang lebih menyakitkan adalah ketika suamiku pergi bersama anak-anak, Ida, dan sopir selama 10 hari tanpa kabar sedikit pun. Itu terjadi beberapa hari setelah hari pertama anak-anak masuk sekolah, pertengahan Juli lalu. Pagi itu, tinggal Putri yang belum mandi karena ia masuk sekolah siang, tapi suamiku ngotot mengajaknya pergi bersama kakak dan adiknya yang sudah rapi berseragam.
Ketika kuminta agar Putri tak diajak, Teguh marah-marah. Putri akhirnya melerai dan minta ayahnya berhenti memarahiku. Namun, suamiku kalap dan memukulku. Aku lari ke kamar untuk menghindar. Setelah merasa tenang, aku ke luar kamar. Ternyata rumah sudah sepi. Kata pembantuku yang lain, suamiku pergi bersama anak-anak, Ida, dan sopir.
Karena kupikir anak-anak ke sekolah, aku mencoba tenang. Pukul 10.00, aku mencari anakku di sekolah, tapi tak ada. Mungkin diajak jalan-jalan ayahnya, pikirku. Hatiku mulai resah ketika ternyata sampai malam mereka tak juga pulang. Ponsel suamiku tidak aktif. Beberapa hari berikutnya, kepala sekolah anak-anakku menelepon, menanyakan kenapa anak-anak sudah beberapa hari tidak masuk sekolah.
Aku pun tersadar, anak-anak dibawa pergi ayahnya. Aku tanya ke ipar-iparku, mereka mengaku tidak tahu. Mertuaku di Surabaya pun mengatakan hal yang sama. Kebetulan, aku harus dinas ke Surabaya. Di sana, kuminta temanku menelepon mertuaku, pura-pura mengaku sebagai teman suamiku. Dari situ aku tahu, suami dan anak-anakku ada di sebuah hotel di Malang. Aku menyusul ke sana.
Aku syok ketika menelepon ke kamar suamiku ternyata Ida yang mengangkat dan begitu tahu suaraku, telepon langsung dimatikan. Begitu terus beberapa kali. Sayang, mereka langsung pindah dari hotel itu ketika tahu aku menyusul. Aku pulang ke Jakarta dengan hati gundah.
Ketika kukirim e-mail ke suamiku, memintanya pulang karena aku rindu anak-anakku, ia tak membalas. Waktu kutelepon lagi mertuaku untuk menanyakan keberadaan mereka, aku malah dimaki-maki, dituduh merusak jiwa anak-anakku dan tidak bisa mengurus anak. Padahal, semua anakku berprestasi, sering juara nyanyi, menggambar, baca puisi, dan sebagainya. Piala mereka di rumah berderet-deret, membuatku bangga.Hasuna Daylailatu