Bisa Atur Pengadilan Dimas yang malang! Kasihan anak itu. Jangankan minta maaf, selama Dimas dirawat saja, Mas Poeji tak pernah menengok anaknya. Malah aku dengar dari seorang teman, ia menyumpahi anaknya mati.
Rupanya, selama kami di RS, Mas Poeji menghilangkan bukti kekerasannya. Ia mencuci bersih kaos Dimas yang berlumuran darah dan membersihkan ceceran darah di lantai ruang tamu. Untungnya, masih ada noda darah di alat fitness yang tidak dilihatnya sehingga bisa kami jadikan bukti.
Sudah pasti, sebagai seorang jaksa senior dengan posisi Jaksa Fungsional, Mas Poeji bisa kebal hukum. Buktinya, hingga hari ini proses hukumnya selalu tertunda-tunda. Padahal, semua bukti kekerasan melalui BAP, visum, dan barang bukti, sudah sampai ke Kejaksaan Agung. Dia pernah bilang, "Saya ini jaksa senior! Semua orang yang ada di kejaksaan itu teman saya, jadi saya tidak mungkin ditahan. Saya bisa mengatur pengadilan!"
Akhirnya, atas perlakuannya, Mas Poeji dikenai pasal 351 dan 356 untuk KDRT, juga pasal 80 untuk Perlindungan Anak dengan tuntutan penjara di atas lima tahun. Namun entah bagaimana, beberapa pasal tersebut ditiadakan oleh Jaksa Penuntut Umum sehingga ia hanya dituntut dua tahun penjara.
Jadi Nomaden Tapi aku tidak mau putus asa. Kami tahu, Tuhan Maha Adil dan kebenaran pasti menang. Aku sudah mengirimkan surat permohonan kepada Presiden SBY untuk meninjau kasus ini. Selain itu, aku sudah melaporkannya juga ke Komisi Perlindungan Anak dan LBH Jakarta.
Meski aku dan Mas Poeji masih sekantor, sejak kejadian itu aku dan Dimas tidak pernah lagi tinggal dengannya. Kami juga tidak lagi menempati rumah kami di Cipete. Tidak hanya aku, Dimas juga masih trauma dengan kejadian Sabtu itu. Saking traumanya, ia mengubur cita-citanya menjadi seorang jaksa. "Aku mau jadi dokter saja biar bisa mengobati orang sakit."
Kini aku dan Dimas menjadi nomaden. Kadang tidur di mess kejagung, di hotel, dan di rumah temanku. Itu kami lakukan agar terhindar dari ancaman pembunuhan. Gara-gara itu, aktivitas Dimas di sekolahnya, SMAN 46 Jakarta, pun terganggu karena ia jadi sering absen. Untungnya, pihak sekolah mau mengerti. Pernah aku meminta perlindungan dari kejaksaan, tapi sekarang kami tidak percaya lagi kepada siapa pun.Ester Sondang
Tak Akui AnakKepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Setia Untung Arimuladi,SH., menampik keras tuduhan instansinya telah mempersulit persidangan kasus Nazwita Indra melawan suaminya sendiri. "Semua sudah sesuai prosedur, sesuai aturan. Kami terima berkas dari polisi 12 Januari, sebulan kemudian kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, dan 29 Maret mulai disidangkan. Sementara tuntutan 10 Juni. Jadi, di mana letak kami mempersulit?"
Terdakwa yang mantan Ketua Bagian Penyusunan Program dan Penilaian di Kejagung, didakwa melakukan KDRT terhadap dua orang sekaligus namun tak ditahan. Sementara banyak kasus sejenis, pelakunya ditahan. "Saya tak mau kasus ini dibandingkan dengan kasus lain. Mungkin penyidik menganggap tak perlu ditahan. Menahan orang itu harus ada faktor subyektif dan obyektifnya, sesuai pasal 21 KUHAP (tentang alasan penahanan, Red.)"
Ia juga menampik telah mengurangi pasal yang didakwakan pada Poedji sehingga meringankan tuntutan hukuman. "Tidak benar itu! Dalam proses persidangan, setelah mendengar keterangan terdakwa, saksi, melihat barang bukti berikut hasil visum, ternyata JPU hanya dapat membuktikan dakwaan pertama," urai Setia. Alasan dakwaan lain yang tak terbukti, "Karena dia tidak mengakui anaknya lantaran menikah siri."
Bila tuntutan dirasa terlalu ringan, Nazwita masih memiliki kesempatan melakukan pembelaan, 24 Juni 2009 nanti. "Yang jelas, jaksa telah mempertimbangkan faktor yang memberatkan dan meringankan."Rini