Aku bertemu Drs Poedji Raharjo, SH, MM (59) tahun 1984, saat kami sama-sama bekerja di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan. Dia kukenal sebagai pria yang baik, lembut, dan mengesankan.
Belakangan, kuketahui dia sudah beristri. Namun entah bagaimana, hubungan kami semakin dekat dan ia mengatakan ingin menikahiku di tahun 1988. Jujur, aku tidak pernah mengatakan "Ya" hingga pernikahan sederhana itu terlaksana juga di Bekasi. Saat itu, orangtuaku tidak hadir. Yang hadir hanya ibu dan ayah angkat Mas Poeji. Itu pun kata Mas Poeji. Entah benar atau tidak.
Tiga Kali Nikah
Kami menikah resmi dua tahun kemudian. Pernikahan itu dilakukan di hadapan orang tua dan keluarga besar Mas Poeji di Malang, tapi tanpa kehadiran kedua orangtuaku lagi. Ayahku memang tidak setuju aku menikah dengan Mas Poeji. Aku tidak tahu apa alasannya. Mungkin Ayah punya perasaan tidak baik mengenai suamiku itu. Tapi apa mau dikata, aku bahagia bisa bersamanya. Anak pertama kami, Mas Agung Baharsyah, lahir pada 13 Februari 1993.
Tahun 2000, ayahku datang ke Jakarta. Pada kesempatan itu, Ayah minta Mas Poeji menikahiku sekali lagi di hadapannya. Demi Ayah, yang saat itu sedang sakit-sakitan, kami pun menikah lagi.
Selama menikah, tak pernah sedikit pun Mas Poeji bersikap kasar terhadapku. Terhadap Dimas saja, panggilan Mas Agung, ia tidak berani marah. Kalau Dimas nakal, Mas Poeji cukup melapor ke aku agar aku yang memarahinya. Kalau ia melihat kami tertidur di ruang TV saat ia pulang, ia tidak akan membangunkan kami, tapi dengan perlahan menggendong kami satu-persatu ke kamar tidur. Kami juga sering tidur bersama, bertiga, seperti yang kami lakukan sehari sebelum Mas Poeji berangkat ke Gorontalo.
Terpikat Perempuan Lain
Awal Juni 2008, Mas Poeji dimutasi ke Kejaksaan Tinggi Gorontalo. Di sana, ia menduduki posisinya yang baru, Asisten Intelijen. Aku dan Dimas tidak ikut karena Dimas sedang menyiapkan diri untuk ujian SMP.
Dua hari setelah kepergiannya, saat pelantikan, ia berkenalan dengan wanita bernama Asmaul Husnah Adam, seorang staf salah satu LSM di sana. Singkat cerita, hubungan mereka semakin lengket meski Mas Poeji tahu Husnah masih bersuami dan memiliki empat anak. (Husnah dinikahi pria bernama Uut yang tinggal di Jakarta pada tahun 1987. Husnah meninggalkan Uut dan membawa keempat anak mereka ke Gorontalo karena Uut sering sakit-sakitan sejak usahanya bangkrut).
Tidak lama kemudian, meledaklah kasus perselingkuhan Mas Poeji dan Husnah di kota itu. Bahkan, isu ini sempat diberitakan di beberapa media di sana. Sejak itulah, sikap Mas Poeji terhadap kami berubah drastis. Jadwal satu kali seminggu yang didapatnya untuk pulang ke Jakarta menemui kami, tidak digunakannya. Ia lebih memilih bersenang-senang dengan wanita itu di suatu tempat.
Kalaupun pulang ke rumah, kerjanya pasti hanya marah-marah dan tidak jarang main tangan. Dari mulai memukul, menendang, sampai menginjak tubuhku. Seakan ia lupa kalau aku ini istrinya. Aku dianggap dan diperlakukan tidak lebih dari binatang. Ini terus dilakukannya sampai ia dipindahtugaskan kembali ke Jakarta (Husnah dan keempat anaknya juga ikut diboyong ke Jakarta).
Tanpa sepengetahuanku, diam-diam Mas Poeji membuat surat nikah siri palsu dengan Husnah. Tidak hanya itu. Mas Poeji juga memalsukan buku nikah mereka dengan versi bahasa Inggris. Aku tahu itu palsu karena di buku nikah ditulis mereka menikah tahun 1986. Tahun segitu, kan, buku nikah berbahasa Inggris belum ada, tapi baru ada di tahun 2004. Tidak tanggung-tanggung, Mas Poeji juga mengubah semua akta kelahiran keempat anak Husnah menjadi anaknya.
Hingga kemudian, datanglah Hari Sabtu yang nahas itu (22/11/08). Siang itu, aku dan Mas Poeji perang besar. Tanpa tahu apa salahku, ia memukul dan mencekik aku. Dimas yang melihat kejadian itu saat keluar dari kamar mandi, langsung berusaha menghentikan aksi ayahnya. "Istighfar, Papi. Sabar!" kata Dimas.
Teriakan Dimas membuat Mas Poeji makin kalap. Seperti orang kesetanan ia membalikkan badannya dan memukul mulut Dimas, kemudian memegang kerah bajunya, mengangkatnya, dan membantingnya ke lantai. Seakan belum puas, Mas Poeji kemudian mengambil alat fitnes dan menjatuhkannya ke atas tubuh Dimas. Darah pun keluar dengan derasnya dari kepala dan mulut Dimas.
KOMENTAR