Sampai kapan pun, agaknya Doni (18) dan kekasihnya, Sita, (keduanya nama samaran) tak akan bisa melupakan peristiwa pahit yang terjadi 12 Oktober 2008 silam. Keduanya mengalami perlakuan yang berujung hancurnya masa depan mereka. Yang menyedihkan, tersangka pelakunya para oknum polisi yang seharusnya melindungi masyarakat.
"Malu sekali. Sampai sekarang, saya belum berani keluar rumah,' begitu cerita Doni lewat telepon (Rabu 27/5). Alkisah, siang itu ia menjemput Sita dengan mobil lalu mengajak makan siang di sebuah warung. Warga kota Makassar ini lalu berkendara hingga ke Danau Tanjung Buinga, sebuah kawasan baru di kota Makassar Barat. "Saya sendiri baru kali itu ke sana," kisah Doni yang kemudian memarkir mobilnya menghadap danau.
Selang 10 menit, tiba-tiba empat anggota polisi patroli motor (Patmor) yang mengendari dua sepeda motor dari Poltabes Makassar, mendatangi Doni dan Sita yang sedang asyik ngobrol. "He, ngapain saja kamu di dalam!" teriak salah satu anggota Patmor. "Belum sempat menjawab, mereka membuka pintu mobil dan menuduh kami habis melakukan hubungan intim. Jelas saya membantah tapi mereka tak mau percaya. Malah saya kemudian disuruh buka celana. Alasannya, mau melihat apa ada sisa cairan sperma."
Doni terus menolak. Ia dan Sita semakin takut karena salah satu petugas mengeluarkan handphone berkamera dan merekam semua adegan tersebut.
Belakangan, karena terus dipaksa dan dihardik, Doni dan Sita melepas celana mereka. Bahkan Sita dipaksa menarik semua celana dalamnya sambil direkam. "Sebenarnya, sebelum merekam, salah satu anggota sempat memegang-megang kelamin pacar saya," urai Doni
Damai atau Disebar
Usai merekam, kemudian Sita dan Doni diminta mengikuti rombongan petugas menuju pos satpam di daerah Akkarena. Di sana, dua mahasiswa ini dipertemukan dengan Brigadir Ar, wakil komandan regu para petugas tadi. Hasil rekaman juga diserahkan.
Lagi-lagi Doni dan Sita diperlakukan tak seharusnya, sebelumnya anak buahnya yang melakukan pelecehan, kini sang komandan memanfaatkan rekaman gambar tadi sebagai modal melakukan pemerasan. Dengan nada mengancam Ar minta Doni menyerahkan uang. "Bagaimana? Mau diselesaikan secara damai atau diteruskan," kata Doni menirukan ancaman Ar. Ancamannya tak main-main: jika tak memberi uang, "Rekaman gambar mau disebarluaskan. Sebaliknya, akan dihapus kalau saya kasih uang. Karena takut, ya, saya minta damai. Mereka lalu menentukan harga, Rp 500 ribu per orang untuk uang tutup mulut."
Karena di dompetnya hanya ada Rp 20 ribu, Doni bingung. "Saya disuruh gadaikan HP. Itu pun cuma dapat Rp 400 ribu. jadi, sisanya pinjam ke teman-teman." Malam itu juga, uang diserahkan ke pos polisi.
Syok berat
Ternyata, tujuh bulan kemudian, tepatnya Mei lalu, Doni mendengar dari beberapa temannya, muncul video porno yang beredar dari HP ke HP. "Mulanya saya tak menduga, isinya rekaman saya dan Sita. Ketika teman bilang ada wajah saya di rekaman itu, lemaslah saya. Sita langsung syok berat. Bayangkan, sudah dilecehkan, diperas, sekarang gambar saya dan Sita disebarluaskan. Dia menangis terus dan mengurung diri di kamar," ucap Doni dengan penuh sesal.
Akhirnya, sejoli ini menceritakan semuanya pada keluarga masing-masing. Sebagai bentuk pertanggungjawaban moral, Doni yang tiga tahun lebih muda dari Sita, serius mengajak Sita ke pelaminan. "Orang tua kami sudah bertemu. Kami sepakat, kelak Sita akan saya nikahi," kata Doni yang kemudian mendapat bantuan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.
Gandhi Wasono M