Gara-Gara Peniti, Rini Nyaris Kehilangan Kaki (1)

By nova.id, Senin, 25 Mei 2009 | 00:00 WIB
Gara Gara Peniti Rini Nyaris Kehilangan Kaki 1 (nova.id)

Gara Gara Peniti Rini Nyaris Kehilangan Kaki 1 (nova.id)
Gara Gara Peniti Rini Nyaris Kehilangan Kaki 1 (nova.id)

"Perlahan Mak Cik sudah bisa duduk, menggerakkan kakinya, dan makan sendiri. (Foto: Ester Sondang) "

Semakin hari, luka di kaki Mak Cik makin meluas. Plus mengeluarkan nanah dan bau tidak sedap. Tekanan gulanya pun terus naik hingga 600 (batas normal 140). Suntikan insulin sebelum makan, obat dari dokter, dan pengobatan alternatif, tidak ada yang manjur. Beberapa bulan kemudian, kaki Mak Cik menghitam dan ada beberapa luka baru yang membentuk lubang di kaki atasnya. Ia juga tidak mampu berjalan lagi. Tiap kali akan menapakkan kaki, darah mengucur deras dari kakinya.

Setiap malam ia merasakan ngilu dan perih. Kadang suhu tubuhnya meninggi. Dia hanya bisa menangis dan berujar, "Kalau begini terus, lebih baik saya mati saja." Malah kami pikir, Mak Cik memang akan meninggal malam itu. Makanya, ibu kami, Muningsih (61) sering berkata pada Mak Cik, "Rin, Ibu sudah pasrah kalau kamu pergi duluan. Kamu juga harus pasrah, ya."

Ayah dan Ibu memang sangat menyayangi Mak Cik. Maklum, sejak Ayah tidak bekerja (tahun 90-an), selain Kak Nung (anak ketiga), Mak Cik-lah yang membiayai kebutuhan keluarga kami. Pernah, suatu malam, aku bertanya pada Mak Cik, apa yang paling memberatkan hatinya kalau dia "pergi" lebih dulu dari kami. Jawabnya, dia sangat sedih karena harus meninggalkan Ayah, Ibu, dan juga Ferdi, keponakan dari kakak sulung kami. Sejak balita, Ferdi tinggal dan diasuh Mak Cik serta dibiayai hingga kuliah.

Ester Sondang