Tabloidnova.com - Bencana tsunami merenggut nyawa suami, orangtua dan melenyapkan seluruh harta yang ia miliki. Namun, musibah itu tak membuatnya surut langkah dan berpangku tangan. Perempuan kelahiran 4 September 1969 ini bangkit dan mencari peluang untuk mengangkat perekonomian keluarganya. Lewat produksi ikan kayu keumamah kemasan, Fauziah sukses dan meraih berbagai prestasi bergengsi.
Lama aku tinggal di Desa Lampulo, Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh, sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004 lalu. Rumahku di Lampulo memang letaknya tak jauh dari bibir pantai, barangkali hanya berjarak sekitar 500 meter.
Seperti halnya ibu rumah tangga lain, aku pun sibuk mengurus keperluan rumah. Pekerjaan suamiku yang hanya melaut membuatku terkadang berupaya menambah uang jajan dengan membuat keripik dan kue untuk dijual.
Pagi itu, 26 Desember 2004, semuanya terasa sama seperti hari-hari biasa. Tak ada yang aneh. Suamiku, seperti biasa, sebelum melaut singgah ke warung kopi bersama teman-temannya. Keempat anakku, Farnida Ulfa, Amriadi, Fajriadi, dan Aris Munanda bersiap untuk beranjak ke sekolah. Sementara putri bungsuku (anak kelima), Erni Yulita yang masih berumur 5 bulan, selalu bersamaku.
Seingatku, waktu itu jam menunjukkan pukul 07.00 pagi. Tiba-tiba, bumi tempat kami berpijak terasa bergoyang karena gempa. Kami memang merasakan goncangan gempa yang cukup kuat. Cemas, akupun bergegas mencari anak-anak untuk keluar dari rumah, sementara gempa terus mengguncang tanpa henti.
Di luar rumah, kulihat orang-orang hilir mudik dilanda panik akibat gempa pagi itu. Selang beberapa waktu, gempa pun mulai mereda. Namun mendadak, terdengar teriakan air laut naik ke darat. Teriakan itu kencang. Tak pelak, semua orang bersicepat lari menyelamatkan diri, termasuk aku. Kubawa kelima anakku naik ke lantai dua rumah salah seorang tetangga.
Kapal di Atap
Duh, masih jelas terekam saat-saat yang sangat mencekam itu. Jantungku masih kerap berdebar-debar setiap kali mengingat lagi detik-detik musibah besar yang meluluhlantakkan Aceh itu. Di lantai dua rumah tetangga, kami berhimpun dalam kepanikan. Aku pasrah. Kuserahkan semuanya kepada Yang Di Atas, seraya merangkul kelima buah hatiku. Doa tak henti-henti keluar dari bibirku dan para tetangga yang sama-sama berkumpul.
Saat itu aku baru tersadar, suamiku tidak ada bersama kami! Perasaan kalut dan khawatir benar-benar membuatku seperti kehilangan akal. Napasku berat. Di luar, kulihat gelombang air laut yang semakin besar menerpa segala penjuru. Bahkan, dengan mata kepalaku sendiri, kulihat sebuah kapal terbawa arus dan mengarah ke rumah tempat aku dan anak-anak menyelamatkan diri.
Kapal itu makin mendekat lalu kandas di atas atap rumah. Aku bergegas memanjat atap rumah untuk membongkar seng rumah agar bisa keluar dan menjangkau perahu tersebut. Semua anak-anak kumasukkan ke dalam perahu tersebut. Ternyata, begitu aku memasuki perahu besar tersebut, sudah ada sekitar 50 orang lain yang sudah berada di kapal itu lebih dulu.
Terbawa gelombang air laut yang maha dahsyat, kapal itu tersangkut di atas rumah dan menjadi penyelamat kami. Aku dan anak-anakku selamat. Begitu juga beberapa keluarga lain yang juga menyelamatkan diri ke atas kapal tersebut. Kapal itu hingga kini masih ada di tempatnya, di atas atap rumah, dan menjadi saksi hidup kedahsyatan bencana tsunami yang melanda Aceh. Dan, kapal itu pulalah yang kemudian menjadi pendorong semangatku untuk bangkit dan melanjutkan hidup.
Lepas Dari Trauma