"Di dalam keluarga, Yudi juga menerapkan green life. Terlebih kepada kedua anaknya. (Foto:Dok Pri, Sukrisna) "
Apa sih sebenarnya green map atau peta hijau itu?
Itu sebenarnya pemetaan lokasi-lokasi hijau di suatu tempat.
Itu adopsi dari luar negeri, ya?
Ya, tapi sebenarnya yang menarik, terbentuknya peta hijau itu ada kaitannya dengan Indonesia, lho.
Maksudnya?
Ide green map itu muncul ketika seorang turis Amerika, Wendy Brower, tersesat di Kebun Binatang Gembiraloka, Yogyakarta pada 1994. Pengalaman itu membuka pemikiran, suatu tempat perlu petunjuk atau arahan yang mudah dikenali yakni berupa ikon. Kalau tulisan saja, kan, tidak semua orang bisa mengenali.
Pemikiran itulah yang lalu dibawa ke New York. Jadi, Indonesia mau tak mau, punya ikatan emosional dan terkait dengan sejarah terbentuknya green map. Nah, tahun 1995, Wendy Brower mulai membuat ikon-ikon di New York dan itulah yang dinamakan green map. Kemudian program ini diadopsi di beberapa kota di Amerika.
Kapan Indonesia mulai mengadopsi?
Tahun 2000 program ini dibawa ke Indonesia oleh Mas Marco Kusumawijaya, arsitek perkotaan. Lalu kami diskusi dan mulai melakukan pemetaan di sejumlah kawasan di Jakarta.
Kawasan mana yang pertama dipetakan?
Ini sifatnya voluntir, maka penetapan kawasan yang dipetakan berdasarkan siapa yang mau jadi tuan rumah. Tahun 2001 kebetulan Yayasan Icon di Kemang yang mau jadi tuan rumah. Maka, kawasan yang dipetakan, ya di Kemang.
Tahun 2002 di Kebayoran Baru, tahun 2003 di Menteng, dan tahun 2005 yang jadi tuan rumah Museum Jakarta dan Wayang di Jakarta Kota, maka yang dipetakan kawasan Kota Tua.
Memang masih ada kawasan hijau di daerah Kota Tua?
Hijau yang dimaksud di sini ada tiga katagori. Pertama, alam yakni taman, pohon, pemakaman, sungai. Kategori kedua adalah kehidupan yang berkelanjutan, seperti kampung hijau, tempat pengolahan sampah, dan sebagainya. Sementara katagori ketiga soal sosial budaya yang meliputi museum, galeri, monumen, dan lainnya.
Jadi, pemahaman 'hijau' itu lebih luas ya?
Betul. Yang dimaksud hijau adalah sistem yang berkelanjutan dalam kehidupan kota.
Kini, seluruh Jakarta sudah punya peta hijau ya?
Benar. Sejak 2008, sistem pembuatan peta kami balik. Tidak berdasarkan per kawasan, tapi kami memetakan seluruh Jakarta. Dan yang manarik, kawasan yang kami petakan harus dilalui transportasi publik yang ramah lingkungan, seperti bus Trans Jakarta, kereta api, dan sepeda. Jadi, menuju lokasi hijau dengan cara hijau.
Tim Anda, kan, tidak banyak. Bagaimana bisa membuat peta ini?
Kami tidak bekerja sendiri. Banyak dibantu para relawan. Tentu setelah mereka mengikuti workshop pembuatan peta hijau.
Program selanjutnya apa, setelah Jakarta punya peta hijau?
Kami sudah mengadakan tur bersama ke lokasi-lokasi hijau mengunakan transportasi yang ramah lingkungan.
Apa menariknya mengunjungi lokasi hijau di Jakarta?
Banyak pembelajaran yang didapat. Misalnya mengunjungi tempat pembuatan kompos, di kampung hijau bisa belajar bagaimana menata kawasan menjadi hijau.
Bahkan jika berkunjung ke Taman Ayodia di Kebayoran Baru, misalnya, bukan sekadar main di taman, tapi sekaligus belajar sejarah kawasan Kebayoran tempo dulu. Jadi tidak hanya berkunjung saja, tapi ada banyak informasi di balik lokasi itu.
Apa harapan Anda setelah banyak peserta ikut tur hijau ini?
Mereka punya wawasan tentang 'hijau' dan diharapkan mulai menerapkan green life. Misalnya, membuat taman di rumah dan lingkungannya, mulai mengurangi pemakaian kendaraan pribadi, dan sebagainya.
Poster peta hijau Jakarta sudah terpasang di halte Trans Jakarta ya?
Ya. Kami berharap di hari-hari libur, warga Jakarta mau mengajak keluarganya berkunjung ke lokasi-lokasi hijau. Jadi, tak hanya ke mal-mal saja. Itu yang kami tawarkan untuk warga Jakarta.
Apakah peta hijau Jakarta ini sudah ideal untuk sebuah kota?
Masih jauh dari ideal. Ruang hijau di Jakarta saat ini masih 9,97 persen. Padahal minimal Ruang Terbuka Hijau (RTH) itu 30 persen. Tak heran, karena komposisi yang minim, hujan sebentar saja Jakarta sudah banjir. Kalau musim kemarau, polusi udara dan macet di mana-mana. Celakanya, kita sendiri tak ada upaya serius untuk menambah ruang hijau di Jakarta.
Yang dimaksud 'kita' itu, pemerintah atau warga Jakarta?
Dua-duanya. Dalam UU disebutkan RTH 30 persen. Yang 20 persen milik pemerintah dan 10 persen dikelola warga. Jadi kesadaran membuat lingkungan hijau itu harus ada di pemerintah maupun warganya.
Di sisi lain, pembangunan mal makin merajalela. Bagaimana nasib kawasan hijau nanti?
Itu menandakan pandangan pemerintah terhadap lingkungan masih kurang. Konsep pembangunan yang ramah lingkungan belum masuk ke konsep pembangunan kota Jakarta. Sehingga RTH tergusur oleh hotel, mal dan pusat perbelanjaan.
Jadi, jangan heran Jakarta makin hari akan makin banjir dan dipenuhi polusi. Itu risiko yang harus ditanggung. Sekarang pertanyaannya untuk warga Jakarta, rela atau tidak mengalami bencana itu? Jika tidak, ya harus melakukan perubahan agar hidup jadi lebih baik.
Idealnya, paradigma dibalik, ya?
Benar. Target mal di Jakarta, kan, 200 mal. Sekarang baru 90. Kenapa tidak dibalik, target taman kota atau situ yang 200. Kita harusnya belajar ke Putrajaya, Malaysia. Kota ini dipilih menjadi kantor pusat perusahaan asing bukan karena malnya banyak, tapi ruang terbuka hijaunya yang luas.
Seperti London jadi kota olimpiade 2012, bukan karena banyak malnya, tapi karena punya RTH 39 persen. Itu paradigma yang sudah maju. Nah, kalau sebuah kota ingin didatangi investor, ya bangunlah RTH yang banyak.
Apa yang bisa dilakukan warga ?
Mulailah dari halaman rumah. Coba bikin sumur resapan air, cukup 1m x 1m. Biar sebagian air hujan tertampung. Jika cuma punya lahan sempit, coba menanam di pot. Jadi, di balik lahan yang sempit, masih bisa menghijaukan lahan sendiri. Kalau punya halaman luas, seharusnya menanam pohon.
Untuk lingkungan, bisa memperjuangkan ke RT atau RW untuk bikin taman, meski hanya kecil. Pemerintah Jakarta punya program Taman Interaktif. Pemerintah akan bantu membangun taman-taman seluas 100 meter atau 200 meter yang diperlukan warga.
Perubahan akan terasa, ya?
Ya, jika itu dilakukan banyak orang. Tapi, paradigma harus diubah. Jangan menunggu orang lain memulai, mulailah dari diri sendiri. Jika hal kecil itu dilakukan sejuta orang, pasti dampaknya akan luar biasa.
Pada 25 Maret lalu, Jakarta Green Map ulang tahun ke 10. Apa agendanya?
Kami mengadakan tur ke Hutan Kota Senayan untuk mengamati serangga. Serangga, kan, jadi indiksi ekosistem kota. Di Jepang, malah indikasinya kunang-kunang. Indikasi pabrik di Jepang berhasil melakukan penghijauan jika ditemukan kunang-kunang.
Acara ini bertepatan dengan setahun bencana Situ Gintung. Kami juga sudah membuat peta hijau situ di Jakarta yang hasilnya sudah disebar di halte Trans Jakarta. Tujuannya agar warga mau mengunjungi situ-situ yang ada di Jakarta. Setelah berkunjung, mereka tahu manfaat situ dan peduli. Jika warga tak peduli, situ diurug pun, mereka tak akan protes.
Anda selalu bersuara keras terhadap pemerintah?
Ya, yang saya lakukan itu sebagai wakil dari masyarakat yang tidak mau kota ini hancur.
Selain kritik, Anda juga menawarkan gagasan-gagasan untuk pemerintah kota?
Ya, salah satunya pembangunan taman Ayodia. Konsep saya ada 4. Pertama, membeli lahan untuk dijadikan taman kota. Kedua, merefungsi lahan hijau yang sudah beralih fungsi, dijadikan lahan hijau.
Ketiga, penanaman pohon di kawasan Jakarta. Dan keempat, mulai April mendatang kami akan memelopori penanaman pohon sesuai karakter dan ciri khas kawasan.
Jakarta, kan, sebenarnya punya kawasan yang diambil dari nama pohon. Kami punya 10 proyek menanam pohon berdasarkan nama kawasan. April mendatang akan menanam 100 pohon kemang di kawasan Kemang.
Kemang akan jadi pilot project untuk kawasan lain seperti Kebayoran yang namanya diambil dari pohon bayur, sejenis angsana yang batangnya untuk bahan bangunan. Pohon itu kini malah banyak tumbuh di Sumatera.
Kami juga mendorong pihak swasta untuk membuat taman-taman kota karena keterbatasan dana dari pemerintah.
Sebenarnya, apa profesi Anda?
Selain sebagai pengajar di Trisakti, saya juga konsultan lansekap perkotaan.
Kenapa memilih jurusan itu?
Sekitar tahun 84, di Jakarta banyak sekali penebangan pohon-pohon besar di Jl Gatot Subroto untuk pelebaran jalan. Tapi, tak ada satu pun masyarakat yang protes. Begitu pula penggusuran makam yang disulap jadi hotel. Saya juga tak berani protes karena situasinya tak memungkinkan. Nah, sejak itulah saya ingin belajar tetang ilmu tata kota.
Di dalam keluarga, Anda juga menerapkan green life?
Rumah saya kecil, cuma 74 m2. Tapi, ada banyak tanaman dalam pot. Saya juga merapkan cara mengelola sampah rumah tangga. Dalam kegiatan sehari-hari, saya selalu naik kendaraan umum, meski di rumah ada mobil. Saya melakukan itu secara konsisten.
Bagaimana dengan anak-anak?
Ya, kedua anak saya selalu diajak kalau ada tur peta hijau. Agar mereka bisa belajar.
Omong-ngomong, kok, Anda dipanggil Yudi?
Ha ha ha. Itu karena orangtua tidak mau repot saja. Kakak saya, kan, namanya Nirwono Yudo, dipanggil Yudo. Sementara saya, Nirwono Joga, biar gampang dipanggil Yudi.
Sukrisna